Skip to main content

Posts

BIAS MISTERI KOLEKSI LUKISAN DR. YAP

          Sejarah panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya.             Sebagai ophthalmologist (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras, belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr. Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH ( Chung Hwa Hui ), asosiasi pelajar Tio
Recent posts

Duta Museum DIY Meriahkan Karnaval Festival Museum 2015

            Barisan meriah karnaval yang diikuti puluhan museum menjadi pembuka pada Festival Museum 2015 yang diselenggarakan Badan Musyawarah Musea dan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Arak-arakan bertema museum tersebut diselenggarakan pada tanggal 14 Oktober 2015 di sepanjang jalan Maliboro. Ratusan pengunjung lokal maupun mancanegara antusias menikmati aksi teatrikal karnaval yang disajikan sesuai ciri khas masing-masing museum.             Karnaval ini diikuti dengan rangkaian acara pada Festival Museum 2015 dengan tema "Museum for Edutourism" yang diselenggarakan 15-19 Oktober di Benteng Vredeburg Yogyakarta. Tema tersebut bertujuan untuk menjelaskan pada masyarakat bahwa peran museum tidak hanya sebagai objek wisata, namun juga sebagai tempat pendidikan. Acara-acara pada Festival Museum 2015 meliputi pameran museum, workshop, pentas tari, festival band, lomba melukis dan mewarnai, serta lomba stand up comedy. Selain 33 museum di DIY di

KEBEBASAN SPIRITUAL SENIMAN

                                     The highest and most beautiful things in life are not to be heard about, nor read about, nor seen but, if one will, are to be lived. ― Søren Kierkegaard Dunia kebudayaan terhenyak saat Jean-Paul Sartre mempertanyakan apa yang bisa dilakukan kesenian bagi orang-orang kelaparan. Ya, apakah perut orang-orang lapar tiba-tiba bisa menjadi kenyang setelah dunia makin dipenuhi karya-karya seni berkelas masterpieces? Apakah nilai dan makna keindahan sebanding dengan seonggok nasi yang tercampak di atas tanah? Betapa sekalimat pertanyaan Jean-Paul Sartre yang bisa terus dikembangkan ke arah yang senada akan cukup membuat pusing untuk menjawabnya. Ujungnya, jika seni dituntut untuk maksud tertentu demi tergapainya tujuan praktis sudah pasti terjadi pendangkalan makna yang hebat. Seni yang demikian akan mendekati usaha untuk bunuh diri dengan mencekik batang lehernya sendiri. Kesenian dapat memainkan peran efektif dalam kehidupan sosial meski bersikap

MENGENANG AJARAN S. SUDJOJONO: JIWA KETOK VERSUS UANG SEGUDANG

Eyang saya Danarto, yang oleh Emha Ainun Najib dijuluki Wong Agung dari Sragen, menyatakan berkesenian merupakan sebuah proses. Dalam penciptaan karya, penghayatan yang ikhlas saat bekerja menjadi tiang utama. Melukis itu harus semaunya sendiri tapi jangan semau-maunya. Sedangkan pakdhe saya Sardono W. Kusumo mencontohkan perlunya sebuah totalitas berkarya. Memfokuskan getaran sukma. Menjaga intensitas penghayatan diri meluncur tanpa terputus dalam tegangan psikologis tinggi. Membuat karya seni itu bermain tapi tidak main-main. Berkarya adalah pertaruhan harga diri. Suatu upacara untuk menghormati diri sendiri. Sebuah persembahyangan bagi sang sukma sejati. Saat melukis sebaiknya tidak memikirkan hasil akhir. Sebab hasil akhir hanyalah akibat belaka . Yang terbagus, luruh total dalam gelombang proses kreatif . Tahun ini merupakan peringatan 101 tahun kelahiran Bapak Seni Rupa Modern Indonesia, S. Sudjojono. Ajarannya didiskusikan di berbagai tempat. Pemikiran eyang Danarto dan pak

MEMANDANG SENI RUPA TIONGHOA

Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta Sahabat keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar. Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada, mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina. Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu hanya ada di Indonesia saja.” Kalau ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi dipijak

Media Massa dan Kritik Seni Rupa

Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau. Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karak

FRIDA KAHLO: LOVE & TRAGEDY (English Essay)

Ewho Gallery, Seoul, South Korea Presents Global Art Project (Indonesia & Korea) “FRIDA KAHLO: LOVE & TRAGEDY” Seruni Bodjawati and Higi Jung Essay by Seruni Bodjawati Man is a mystery. Although his physical action can be read, but the motion of his soul is unpredictable where it leads. Inside a human's  mind, there are endless possibilities. If a human is being compared to universe, he is like a small cosmos and the universe is like a big cosmos. Remarkably, the big cosmos can be stored in a small cosmos. The human mind itself can be smaller than a grain of sand and when it is deployed, it can be wider than the universe. Yes, man is a great mystery, for himself or for others. Higi Jung tried to interpret the figure of Frida Kahlo with the sharpness point of view that is left loose. Excerpts meaning embodied in the works of photography. Her artistic presentation technique is unique. She presents a psychological analysis as an expression of short poems. I