tag:blogger.com,1999:blog-42184942279894104622024-02-02T00:55:03.556-08:00Art Essays Written by Seruni BodjawatiSeruni Bodjawati is one of the most unique and prominent artists in Indonesian contemporary art. Her style is eclectic, flowing, and psychedelic. More than 60 times participated in art exhibitions in Indonesia, Japan, South Korea, Hong Kong, Singapore, Cambodia, Hungary, England, Slovakia, Romania, France, Spain, Germany, Australia, Italy, and USA.Unknownnoreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-26077155700891276382016-03-30T22:11:00.000-07:002020-01-27T19:02:07.432-08:00BIAS MISTERI KOLEKSI LUKISAN DR. YAP<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;">
<div style="text-align: right;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNmL7nWb4OMdYUgRTTE2S2t0cVlDvLIk8FR-nZUbCJMdmDCUWhYmsbHK9yFg2UDF9NAVbbB3V2pm4GDKapker26fuOoCRECEQi6unNwgZJy6xJJhGgiVzy_31Y4xrcE5dP0fqHml8bw5no/s1600/Dokter+Yap+Hong+Tjoen+Rumah+Sakit+Museum+Mata+Lukisan+Seruni+Bodjawati.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="905" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNmL7nWb4OMdYUgRTTE2S2t0cVlDvLIk8FR-nZUbCJMdmDCUWhYmsbHK9yFg2UDF9NAVbbB3V2pm4GDKapker26fuOoCRECEQi6unNwgZJy6xJJhGgiVzy_31Y4xrcE5dP0fqHml8bw5no/s640/Dokter+Yap+Hong+Tjoen+Rumah+Sakit+Museum+Mata+Lukisan+Seruni+Bodjawati.jpg" width="602" /></a></div>
<br /></div>
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> </span></b><span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sejarah
panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok
filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada
tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun
juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Sebagai <i>ophthalmologist</i> (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar
bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian
istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah
Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras,
belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr.
Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas
Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari
bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH
(<i>Chung Hwa Hui</i>), asosiasi pelajar
Tionghoa di Belanda yang banyak berjasa dalam pendanaan pendidikan keturunan
Tionghoa di Hindia Belanda.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Pergaulan luas Dr. Yap Hong Tjoen
membuatnya bersahabat erat dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara)
dan JA Jonkman. Mereka kemudian menjadi dewan
redaksi Hindia Poetra di IVS (<i>Indonesisch</i>
<i>Verbond van Studeerenden</i>) atau PPI (Perserikatan
Pelajar Indonesia) tahun 1917. Puncak keberhasilan pendidikan Dr. Yap Hong
Tjoen adalah saat diperolehnya gelar dokter ilmu penyakit mata pada tanggal 24
Januari 1919 melalui disertasi tentang penyakit glukoma. Tak lama kemudian, Dr.
Yap Hong Tjoen kembali ke tanah air untuk membangun klinik di Bandung dan kembali
ke Yogyakarta untuk mendirikan sebuah klinik mata <i>Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders</i>. Setelah memasuki zaman
pendudukan Jepang, nama tersebut diganti menjadi Rumah Sakit Mata Dr. Yap.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Jiwa humanis yang tinggi dari Dr.
Yap Hong Tjoen membuat pelayanannya kepada para pasien menjadi adil, karena
tidak membeda-bedakan kaum miskin ataupun kaya. Dengan peralatan medis yang
canggih pada zamannya, Rumah Sakit Mata Dr Yap ramai dikunjungi para tuna netra
hingga dirintislah Balai Mardi Wuto untuk memberdayakan mereka dengan berbagai
keterampilan. Pada tahun 1949, Dr. Yap Hong Tjoen pergi ke Belanda dan wafat di
Den Haag pada tanggal 28 November 1952. Semenjak meninggalkan tanah air dia
menyerahkan pengelolaan rumah sakit kepada putranya, Dr. Yap Kie Tiong.<o:p></o:p></span><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3bgVjgTCIsYVa-vHGR8fYngdnwWFx46suPS4pR08epvDoJNYd0ZYM-3lFJBumzcOLGc_rUegQj_sdbOvS5GzJ92Uf18CKSPNdKGA5hUgdc1MQ7VHepKIPdq4jFigFuG-4FiUpRgthM7e1/s1600/Koleksi+Ophthalmology+Rumah+Sakit+Dr+Yap+Jogja.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3bgVjgTCIsYVa-vHGR8fYngdnwWFx46suPS4pR08epvDoJNYd0ZYM-3lFJBumzcOLGc_rUegQj_sdbOvS5GzJ92Uf18CKSPNdKGA5hUgdc1MQ7VHepKIPdq4jFigFuG-4FiUpRgthM7e1/s400/Koleksi+Ophthalmology+Rumah+Sakit+Dr+Yap+Jogja.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: 12.8px;">Koleksi beberapa alat Ophthalmology di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap</span></td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div style="text-align: right;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dr.
Yap Kie Tiong mengelola rumah sakit dengan disiplin dan dedikasi tinggi. Dia
berhasil menambah jumlah tenaga kerja rumah sakit dengan pesat dan menurunkan
prosentase penyakit mata seperti trachoma, katarak, glukoma dan xenoftalmia.
Tragisnya, Dr. Yap Kie Tiong meninggal bunuh diri di kantor Rumah Sakit Mata Dr.
Yap pada tanggal 9 Januari 1969. Peristiwa pedih dalam generasi Yap tersebut
konon dilatarbelakangi oleh masalah keluarga yang cukup berat. Dr. Yap Kie
Tiong kemudian dimakamkan di Melisi Bantul dan pengelolaan rumah sakit serta
museum diserahkan kepada Yayasan Dr. Yap Prawirohusodo.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Museum
Rumah Sakit Mata Dr. Yap diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tahun
1997. Museum yang jarang diketahui publik ini menempati tanah seluas 246 meter
persegi di dalam area rumah sakit. Di museum ini tersimpan rapi koleksi
barang-barang peninggalan Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong. Museum
Rumah Sakit Mata Dr. Yap memiliki empat ruangan yaitu Ruang Perpustakaan
(berisi buku-buku Bahasa, Sastra, Seni, Sejarah, Ophthalmology dan lain-lain sebanyak
934 judul, 939 eksemplar), Ruang Tidur (berisi barang-barang antik dan
foto-foto keluarga), Ruang Alat-alat Makan, dan Ruang Alat-alat Kedokteran
Ophthalmology. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Beragamnya
koleksi dalam Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap menunjukkan intelektualitas dan
selera tinggi Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong. Selain ratusan buku
bertopik medis, sejarah, budaya hingga filsafat, terdapat pula beberapa karya
seni di bidang seni lukis (lukisan cat minyak dan <i>drawing</i>), patung (beberapa dengan medium kayu), hingga kriya
keramik (terutama <i>tea set</i> porselen). Pada
masa pra kemerdekaan, apresiasi masyarakat terhadap seni rupa tentu belum
semarak sekarang dengan adanya berbagai keterbatasan ruang apresiasi dan modal.
Tak pelak, kehidupan para seniman pun masih terbilang sangat susah dengan
sedikitnya jumlah apresiator dan patron seni. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Adanya
karya-karya seni rupa di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap dapat menjadi penanda
bahwa Dr. Yap Hong Tjoen merupakan salah satu pelopor kolektor seni berdarah
Tionghoa yang kemudian memunculkan generasi-generasi baru dalam kiprahnya di pasar
seni rupa Indonesia. Pengamat seni rupa Agus Dermawan T. pernah menulis bahwa
90% pemain dalam pasar seni rupa Indonesia adalah orang Tionghoa. Mereka dapat
berupa kolektor dan kolekdol, <i>art dealer</i>
dan pemilik galeri. Kini para pemain dalam pasar seni rupa Indonesia yang
berdarah Tionghoa dapat dideret seperti Ir. Ciputra, Dr. Oei Hong Djien, Ir.
Deddy Kusuma, Budi Tek, Budhi Setya Dharma, Siswanto HS, Soenarjo Sampoerna,
Dr. Melani W. Setiawan, Hendra Hadiprana (Galeri Hadiprana), Edwin Rahardjo
(Edwin’s Gallery), Andi Yustana (Andi’s Gallery), Deddy Irianto (Langgeng
Galeri) dan masih sangat banyak.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Di
Ruang Tidur yang menjadi salah satu bagian ruangan Museum Rumah Sakit Mata Dr.
Yap, terdapat lukisan dua maestro seni rupa Indonesia yaitu Henk Ngantung dan S.
Sudjojono. Meskipun lukisan-lukisan tersebut mempunyai nilai intrinsik yang
sangat tinggi, hingga saat ini sejarah kedua lukisan tersebut masih sangat bias. Pihak pengurus dan edukator museum sama sekali tidak mempunyai catatan
mengenai asal muasal lukisan secara terperinci. Belum ada peliputan media atau
riset ilmiah mengenai koleksi benda-benda seni milik Dr. Yap Hong Tjoen. Tidak
jelas apakah karya dua maestro tersebut merupakan hibah, pesanan, atau dibeli
langsung oleh Dr. Yap Hong Tjoen dari Henk Ngantung maupun S. Sudjojono.</span></div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNSDaGbcDkyfzA5mBIyOxYCeehjQhfjGeipvF9N_SSsHjQN3ES4Iz6swQR2GfJBTbifDKuYpLkQxbz-dPNziBoxtlyF7bdkflovBYG1_nq7qGLg5l1-DTBlntQ5J0vxf0CfyqF4wnudkAH/s1600/Henk+Ngantung+Lukisan+Dr.+Yap+Hong+Tjoen+Museum.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNSDaGbcDkyfzA5mBIyOxYCeehjQhfjGeipvF9N_SSsHjQN3ES4Iz6swQR2GfJBTbifDKuYpLkQxbz-dPNziBoxtlyF7bdkflovBYG1_nq7qGLg5l1-DTBlntQ5J0vxf0CfyqF4wnudkAH/s400/Henk+Ngantung+Lukisan+Dr.+Yap+Hong+Tjoen+Museum.jpg" width="310" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Lukisan potret diri Dr. Yap Hong Tjoen karya Henk Ngantung tahun 1948</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Lukisan
Henk Ngantung yang menjadi bagian dari koleksi Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap
menggambarkan potret diri Dr. Yap Hong Tjoen dalam posisi duduk. Lukisan
bermedia cat minyak di atas kanvas tersebut dibuat dengan sapuan kuas yang
ekspresif dan warna-warna yang matang. Berdasarkan tanda tangan di kanvas,
karya berukuran 78 x 58 cm (ukuran tanpa pigura) tersebut diselesaikan pada tanggal
30 Mei 1948. Mengingat Henk Ngantung pernah menjadi pengurus Lembaga
Persahabatan Indonesia-Tiongkok tahun 1955-1958, tentu ada hubungan kekerabatan
antara dia dan Dr. Yap Hong Tjoen hingga tercipta lukisan potret diri tersebut.</span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8jqcKMnXWpqt6el7HTlwOHW6FOamZXB0xFw4SCnHxTcUKcytFu8y25QfC5OpGl5WcXDuYLADhQmBoUj8m6l1GQoLvrT38CRwr0aR1kGXGfB5sTMkSNJvU09vDp7Tg_S9NDZebykDOU3_q/s1600/Sudjojono+Lukisan+Museum+Rumah+Sakit+Dr+Yap.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="416" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8jqcKMnXWpqt6el7HTlwOHW6FOamZXB0xFw4SCnHxTcUKcytFu8y25QfC5OpGl5WcXDuYLADhQmBoUj8m6l1GQoLvrT38CRwr0aR1kGXGfB5sTMkSNJvU09vDp7Tg_S9NDZebykDOU3_q/s640/Sudjojono+Lukisan+Museum+Rumah+Sakit+Dr+Yap.jpg" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Lukisan langka S. Sudjojono di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap yang dibuat tahun 1955</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sedangkan
lukisan karya S. Sudjojono di museum ini mempunyai tampilan visual yang sangat
menarik. Sebagai penganut aliran realisme sosial, dalam karya yang judulnya
tidak diketahui ini S. Sudjojono memainkan unsur-unsur surealisme yang jarang
nampak pada karya-karyanya. Digambarkan sebuah mata raksasa melayang di tengah-tengah
suasana sendu figur-figur rakyat jelata di padang tandus. Terdapat dua figur
sentral dalam lukisan ini berupa seorang laki-laki yang sedang berjongkok dan
seorang perempuan berkebaya merah, identitasnya tidak diketahui. Lukisan yang
bermedia cat minyak di atas kanvas ini berukuran 67 x 52 cm (ukuran tanpa
pigura) dan dibuat tahun 1955.</span></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTzhi9Smk_xHYIL9FBgYuoJFTSH8x0onuRpt7pPG5fVrP7bNh-40QH5rW8RDAdH_WlH1Egpv3dlQ47kNB1rLNzNWrIxuDwJ4AdA9x5aYT-4Hec26opxjcD6lHLBj3DGh3FNaGNOB42w7l6/s1600/Dr.+Yap+Hong+Tjoen+Dr.+Yap+Kie+Tiong.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTzhi9Smk_xHYIL9FBgYuoJFTSH8x0onuRpt7pPG5fVrP7bNh-40QH5rW8RDAdH_WlH1Egpv3dlQ47kNB1rLNzNWrIxuDwJ4AdA9x5aYT-4Hec26opxjcD6lHLBj3DGh3FNaGNOB42w7l6/s400/Dr.+Yap+Hong+Tjoen+Dr.+Yap+Kie+Tiong.JPG" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Drawing potret diri keluarga Dr. Yap di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap</td></tr>
</tbody></table>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Selain
karya dua maestro tersebut, terdapat karya <i>drawing</i>
yang menggambarkan potret diri anggota keluarga Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap
Kie Tiong. Berdasarkan tanda tangan yang tertera, karya-karya tersebut dibuat
oleh pelukis potret bernama Wahyu di Yogyakarta pada tahun 1998. Selain potret
diri Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong, ada pula potret diri istri
pertama Dr. Yap Hong Tjoen, Tan Souw Lee, beserta istri kedua dan tiga anaknya
yang lain. Ada pula potret diri Oei Hong Nio, istri Dr. Yap Kie Tiong.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: .5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Cukup
disayangkan, pihak Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap kurang mengerti cara
pemeliharaan lukisan agar tidak rusak. Di ruang yang sirkulasi udaranya kurang
baik seperti di museum ini, lukisan-lukisan tua akan sangat rawan mengalami
kerusakan. Apabila lukisan-lukisan tersebut rusak, tentu kerugiannya tidak akan
sedikit. Secara nominal, karya-karya para maestro seni rupa sudah pasti
harganya tidak murah. Bahkan beberapa tahun lalu, lukisan S. Sudjojono berjudul
<i>Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran
Diponegoro</i> mencapai Rp 85,7 miliar dalam balai lelang Sotheby's di Hong
Kong. Lebih penting lagi, nilai-nilai <i>intangible</i>
dalam koleksi-koleksi seni di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap tentu memiliki
harga yang tidak terukur bagi sejarah dan peradaban. Museum ibaratkan portal
masa lalu dan masa kini, semoga kepedulian preservasi, konservasi, dan restorasinya
semakin meningkat sehingga transfer ilmu antargenerasi terus berkelanjutan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><i>- Seruni Bodjawati</i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right; text-indent: 0.5in;">
<span style="font-family: "times new roman" , "serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><i>Seniman & Duta Museum Daerah Istimewa Yogyakarta</i></span></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-46004779784885087852015-11-28T19:02:00.000-08:002015-11-28T19:02:27.481-08:00Duta Museum DIY Meriahkan Karnaval Festival Museum 2015<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRFCrsbYq0U5dB1YRL3HMUkuwCLA0gl4rUa58fHBQ2ZFfazjsRitRunmnO62xRam8W-b5MkndvdquGb9bs5JMnXgwqoIP0a3SlBaBowa67Ox4PTnvLm2dnkzMVCT1s_6zlj8CuiKvabIKp/s1600/Seruni+Bodjawati+Duta+Museum+DIY+Festival.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="432" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRFCrsbYq0U5dB1YRL3HMUkuwCLA0gl4rUa58fHBQ2ZFfazjsRitRunmnO62xRam8W-b5MkndvdquGb9bs5JMnXgwqoIP0a3SlBaBowa67Ox4PTnvLm2dnkzMVCT1s_6zlj8CuiKvabIKp/s640/Seruni+Bodjawati+Duta+Museum+DIY+Festival.JPG" width="640" /></a></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> Barisan
meriah karnaval yang diikuti puluhan museum menjadi pembuka pada Festival
Museum 2015 yang diselenggarakan Badan Musyawarah Musea dan Dinas Kebudayaan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Arak-arakan bertema museum tersebut
diselenggarakan pada tanggal 14 Oktober 2015 di sepanjang jalan Maliboro. Ratusan
pengunjung lokal maupun mancanegara antusias menikmati aksi teatrikal karnaval yang
disajikan sesuai ciri khas masing-masing museum.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"> Karnaval
ini diikuti dengan rangkaian acara pada Festival Museum 2015 dengan tema
"Museum for Edutourism" yang diselenggarakan 15-19 Oktober di Benteng
Vredeburg Yogyakarta. Tema tersebut bertujuan untuk menjelaskan pada masyarakat
bahwa peran museum tidak hanya sebagai objek wisata, namun juga sebagai tempat
pendidikan. Acara-acara pada Festival Museum 2015 meliputi pameran museum,
workshop, pentas tari, festival band, lomba melukis dan mewarnai, serta lomba
stand up comedy.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7YvrpNrJyTW8dlQ_vSijJoYrub4jBpKkhaKlKYSdABbhcAMsZwyIXshn3fSQOuR9YtqDvvXlTNSDyMPT_jSj4bxLtCfcASL-HJmpFgNTEo_EA9IAQpPwVATOOSDaxclOB0B0bY-r3aHC4/s1600/Festival+Museum+Yogyakarta+Seruni+Bodjawati+Duta+Museum.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="380" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7YvrpNrJyTW8dlQ_vSijJoYrub4jBpKkhaKlKYSdABbhcAMsZwyIXshn3fSQOuR9YtqDvvXlTNSDyMPT_jSj4bxLtCfcASL-HJmpFgNTEo_EA9IAQpPwVATOOSDaxclOB0B0bY-r3aHC4/s640/Festival+Museum+Yogyakarta+Seruni+Bodjawati+Duta+Museum.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Selain 33 museum di DIY
ditambah dua museum dari Jakarta dan Kabupaten Majene, Duta Museum DIY 2015 juga
turut berpartisipasi dalam karnaval. Belasan anggota Ikatan Duta Museum
mengikuti karnaval ini dengan kompak dan antusias. Barisan karnaval Duta Museum
DIY 2015 merepresentasikan tiga golongan museum yaitu museum pendidikan, museum
perjuangan, dan museum seni budaya. Konsep karnaval ini mengacu kepada tema
yang diusung International Council of Museum yaitu “Museums for a Sustainable Society”
karena Duta Museum DIY diharapkan memiliki pemahaman yang global terhadap
dinamika permuseuman agar fungsi museum terus berkelanjutan di masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Pada barisan karnaval dengan
tema museum perjuangan, Duta Museum DIY 2015 bekerja sama dengan komunitas
Djogjakarta 1945. Komunitas ini memperhatikan peristiwa bersejarah dalam
berdirinya Republik Indonesia di DIY, sehingga mereka dengan senang hati
meminjamkan kostum era perjuangan saat karnaval berlangsung. Sedangkan pada
barisan museum pendidikan dan museum seni budaya, setiap orang membawa papan tulisan
yang berisi slogan untuk mengajak masyarakat mencintai museum. Sepanjang
karnaval berlangsung, Duta Museum DIY 2015 terus aktif mengkampanyekan gerakan
mengunjungi museum kepada para penonton.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Duta Museum DIY 2015 juga
bekerja sama dengan mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia untuk
menghias pick up yang mengiringi bagian belakang barisan karnaval. Pick up ini
dihias dengan lukisan ekspresionisme potret diri para figur museum di DIY yaitu
Affandi, Jenderal Soedirman, dan Ki Hadjar Dewantara. Pada acara pameran
Festival Museum 2015, Duta Museum DIY berkolaborasi dengan para pembuat merchandise
yang peduli dengan seni budaya Indonesia dan mengadakan “Instagram Photo
Competition” untuk mempromosikan museum lebih luas. Dengan adanya kolaborasi multidisiplin,
Duta Museum 2015 dapat menghasilkan ekspresi kreatif dan keterlibatan unik dari
berbagai pihak untuk mengapresiasi museum di DIY.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Seruni Bodjawati
- Juara Umum Duta Museum DIY 2015</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: EN-US;">Majalah Siswa Nusantara Tamansiswa</span></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-21555126666119165402015-03-18T05:49:00.000-07:002015-03-19T03:18:26.304-07:00KEBEBASAN SPIRITUAL SENIMAN<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; tab-stops: 106.5pt center 225.65pt; text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> <i><b>The highest and most beautiful things in
life are not to be heard about, nor read about, nor seen but, if one will, are
to be lived.<o:p></o:p></b></i></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; tab-stops: 106.5pt center 225.65pt; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><b>―
Søren Kierkegaard</b><o:p></o:p></span></i></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; tab-stops: 106.5pt center 225.65pt; text-align: right;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirWKm7fAx6_9HbYNwvH5Zd9e7WTVyppEj0kfCSjas7CbfKpOFwASUQJb1Z0Z7qPYvfUHFzTzcRhIFyJ9VS9a7KGkdm-FxdYD8Tg6ydl_Cj2seQEglkbFqhUN_NYtK-ZwQraug9Wp56maNr/s1600/Seruni+Bodjawati+Filsafat+Eksistensi+Sartre+Kierkegaard+Buku.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirWKm7fAx6_9HbYNwvH5Zd9e7WTVyppEj0kfCSjas7CbfKpOFwASUQJb1Z0Z7qPYvfUHFzTzcRhIFyJ9VS9a7KGkdm-FxdYD8Tg6ydl_Cj2seQEglkbFqhUN_NYtK-ZwQraug9Wp56maNr/s1600/Seruni+Bodjawati+Filsafat+Eksistensi+Sartre+Kierkegaard+Buku.jpg" height="640" width="446" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Dunia
kebudayaan terhenyak saat Jean-Paul Sartre mempertanyakan apa yang bisa
dilakukan kesenian bagi orang-orang kelaparan. Ya, apakah perut orang-orang
lapar tiba-tiba bisa menjadi kenyang setelah dunia makin dipenuhi karya-karya
seni berkelas masterpieces? Apakah nilai dan makna keindahan sebanding dengan
seonggok nasi yang tercampak di atas tanah? Betapa sekalimat pertanyaan Jean-Paul
Sartre yang bisa terus dikembangkan ke arah yang senada akan cukup membuat
pusing untuk menjawabnya. Ujungnya, jika seni dituntut untuk maksud tertentu
demi tergapainya tujuan praktis sudah pasti terjadi pendangkalan makna yang
hebat. Seni yang demikian akan mendekati usaha untuk bunuh diri dengan mencekik
batang lehernya sendiri.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kesenian
dapat memainkan peran efektif dalam kehidupan sosial meski bersikap nihilistis.
Sama halnya dengan ilmu pengetahuan jika bekerja dengan terikat pada tujuan
terbatas berarti mencipta kendala bagi dirinya sendiri untuk sampai pada berbagai
penemuan penting yang baru. Penelitian ilmiah akan maksimal jika bekerja
semata-mata demi kepentingannya sendiri. Suatu esensi kodrati yakni demi
pemuasan keingintahuan intelektual tanpa dibebani motif dangkal mengejar target
manfaat tertentu. Totalitas pencarian makna yang demikian itu justru hasilnya
luar biasa alamiah yaitu memiliki terapan sosial yang bermanfaat sangat hebat. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Albert
Einstein menemukan teori atom awalnya hanya demi pemuasan petualangan di medan
ilmu pengetahuan. Baru kemudian dunia mendapatkan berkahnya. Demikian pula
dengan usaha yang dilakukan oleh Thomas Alfa Edison, Marie Curie dan Antonie
van Leeuwenhoek. Bahkan novelis Harriet Beecher Stowe melalui karyanya <i>Uncle Tom’s Cabin</i> tak pernah
membayangkan karyanya akan mendorong perang besar Amerika yang berujung
penghapusan perbudakan. Dia hanya menggelontorkan nafsu artistiknya untuk
bercerita. Tak beda pula dengan yang dilakukan Charles Dickens, Victor Hugo, Leo
Tolstoy.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Kreativitas
itu hakekatnya bermakna menggali ilham dari lubuk kehidupan spiritual manusia.
Seni menerapkan kualitas transendental, hasil ungkapan penghayatan nilai
seniman setelah merenungkan suatu objek yang bersiat subjektif. Kejujuran dalam
menemukan kebenaran universal membuat karyanya diterima secara objektif oleh
khalayak awam. Daerah pencarian dan penemuan kreator merupakan daerah
transenden. Yakni sesuatu yang di luar kenyataan material duniawi. Sebuah
jangkauan luas yang tak terbatas bagi pengembaraan rohani manusia. Sebagai
tangkapan kualitas transendental karya seni bersifat organis. Senantiasa tumbuh
mewujudkan garis-garis tepinya yang lain dan berada sejalur dengan dunia
kepercayaan, filsafat, rohani.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Para
ahli politik praktis acapkali berpikir bahwa seorang seniman seharusnya dengan
penuh kesadaran membaktikan kejeniusannya demi peningkatan kesejahteraan
manusia. Hal itu tentu tidak salah sepanjang spontanitas lubuk hati terdalam
tetap terjaga dan semangat daya cipta yang bebas menemukan langit luas. Karya
besar sepanjang sejarah selalu lahir jika kreatornya saat berkarya bebas lepas
secara spiritual. Badannya bisa saja terpenjara tapi imajinasi dan tenaga
kreatifnya tak terbendung. Contoh terbaik diperlihatkan oleh Alexander Solzhenitsyn
saat menulis novel <i>Sehari Dalam Hidup
Ivan Denisovich</i> dan <i>Gulag Archipelago</i>.
Atau Fyodor Dostoyevsky saat menulis <i>Catatan
dari Bawah Tanah</i> dan <i>Rumah Mati di
Siberia</i> dari penjara paling mengerikan di pembuangan Siberia. Demikian pun
Pramoedya Ananta Toer saat melahirkan tetralogi<i> Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,</i> dan <i>Rumah Kaca</i> di pengasingan Pulau Buru. Di
penjara terkutuk itulah justru Pramoedya dapat menemukan kebebasan kreatif-spiritual
tak terbatas dan berkualitas emas 24 karat. Tanpa dipenjarakan di situ
mungkinkah tetralogi kebanggaan dunia sastra Indonesia itu bakal lahir dari
tangan Pramoedya?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Manakala
seniman berhasil dijinakkan oleh rezim penguasa represif pastilah terjadi
pemerosotan habis-habisan mutu karya seni. Karyanya yang telah diarahkan untuk
tujuan praktis penguasa justru akan gagal memberi pengaruh sosial yang memadai.
Mencoba menekan habis seniman, memasung dan memaksa, malahan akan merugikan rezim
itu sendiri. Bahkan hal itu akan lebih memperbesar pengaruh seniman itu sendiri,
bukan menguranginya. Rezim komunis Rusia, China, Kamboja, dan Indonesia semasa
Orde Baru telah membuktikan hal itu. Para seniman berkualitas emas semakin
diinjak akan menjadi semakin besar dan sakti.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizE_ztjcTWmHWqGBdmoAp2YYhmJRV2RIIJnnoP3f64hu6e9AwXtq3aeEwfYpyxCS8DqNiXzwQSlkIrPs9op_WLdJT2kIX_qA134rmiexeE2i8GrUV0XH3NoYDPTMkmz7CKYOo_k1LKx1V3/s1600/Seruni+Bodjawati+Picasso+Frida+Kahlo+Painting+Spiritual.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizE_ztjcTWmHWqGBdmoAp2YYhmJRV2RIIJnnoP3f64hu6e9AwXtq3aeEwfYpyxCS8DqNiXzwQSlkIrPs9op_WLdJT2kIX_qA134rmiexeE2i8GrUV0XH3NoYDPTMkmz7CKYOo_k1LKx1V3/s1600/Seruni+Bodjawati+Picasso+Frida+Kahlo+Painting+Spiritual.jpg" height="550" width="640" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Sebaliknya
kaum seniman yang takluk di bawah partai politik atau di kaki dewa bernama Uang
bisa dipastikan kualitas karyanya dengan cepat akan turun derajat. Pablo
Picasso pernah tertarik pada komunisme dan menyuarakan misi partai itu melalui
periode pendek perjalanan kreatif karyanya, maka inilah periode kemuraman
mutunya yang menyedihkan. Lukisan <i>Berburu
Celeng</i> Djoko Pekik tetap dahsyat meski ditumpangi visi politik yang lugas
sebab ekspresinya muncul dari lubuk hati terdalam yang tak terbelenggu
kepentingan praktis. Tapi karya senada seperti <i>Tanpa Bunga dan Telegram Duka</i> dan seri berikutnya tampak kurang menggairahkan karena sangat sadar memanggul visi politik, popularitas dan godaan dari Dewa
Duit.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Akhirnya,
karya seni yang menyimpulkan tujuan sosial, politik, atau metafisik dengan
mudah dapat terjebak untuk mengalahkan keseniannya sendiri. Fungsi seni yang
terjitu adalah kemampuannya memberi keberanian pada masyarakat zaman ini dalam
mengahadapi hidup dan permasalahannya. Dalam mencipta, para seniman mesti
mencari martabat kehidupan dalam citra kemanusiaan yang tumbuh dalam ketulusan
dan itikad baik. Ars longa vita brevis.</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">*Seruni Bodjawati, pelukis dan esais.<o:p></o:p></span></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-24662498409952214892014-12-03T14:46:00.002-08:002020-01-27T18:56:17.833-08:00MENGENANG AJARAN S. SUDJOJONO: JIWA KETOK VERSUS UANG SEGUDANG<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="//www.youtube.com/embed/LnjmXSmKEmA" width="560"></iframe><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="line-height: 200%; text-indent: 36pt;"><br /></span>
<span style="line-height: 200%; text-indent: 36pt;">Eyang saya Danarto, yang oleh Emha
Ainun Najib dijuluki Wong Agung dari Sragen, menyatakan berkesenian merupakan
sebuah proses. Dalam penciptaan karya, penghayatan yang ikhlas saat bekerja menjadi
tiang utama. Melukis itu harus semaunya sendiri tapi jangan semau-maunya. Sedangkan
pakdhe saya Sardono W. Kusumo mencontohkan perlunya sebuah totalitas berkarya.
Memfokuskan getaran sukma. Menjaga intensitas penghayatan diri meluncur tanpa
terputus dalam tegangan psikologis tinggi.</span><br />
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US">Membuat karya seni itu bermain tapi tidak main-main.
Berkarya adalah pertaruhan harga diri. Suatu upacara untuk menghormati diri
sendiri. Sebuah persembahyangan bagi sang sukma sejati. Saat melukis </span>sebaiknya tidak <span lang="EN-US">memikirkan
hasil akhir. Sebab hasil akhir hanyalah akibat </span>belaka<span lang="EN-US">. Yang terbagus, luruh total dalam gelombang
proses kreatif</span>.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
Tahun ini merupakan peringatan 101
tahun kelahiran Bapak Seni Rupa Modern Indonesia, S. Sudjojono. Ajarannya
didiskusikan di berbagai tempat. Pemikiran eyang Danarto dan pakdhe Sardono W.
Kusumo sepadan dengan konsep jiwa ketok yang digagas S. Sudjojono. Lukisan yang
baik pastilah menampilkan jiwa pelukisnya. Jiwa ketok tak bakal ada jika
pelukisnya tidak total bekerja, konsentrasinya ambyar, imajinasinya patah dan
daya hidupnya digoyang gempa. Apalagi kalau kejujurannya digadaikan, yang
tampil hanyalah kehampaan jiwa. Mungkin canggih secara teknik, menohok mata
dari segi visual, tapi tidak memuat drama yang menjadi sejarah hidup
pelukisnya. Secara teknis paling mendasar, agar jiwa ketok terbabar, seorang
pelukis mesti menjamin setiap jengkal gambar di kanvasnya merupakan sentuhan
murni tangannya sendiri yang ajaib dan berbudi. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
Pelukis tak cukup bermodal ahli
menaklukkan garis dan warna, menjinakkan binatang jalang di hutan pikiran. <span lang="EN-US">Dia </span>harus<span lang="EN-US"> berekspresi. Mengeksplorasi emosi, debaran masa lalu dan detak
jantung masa depannya. Meng</span>olah<span lang="EN-US"> keunikan karakte</span>r <span lang="EN-US">dan daya spiritualitas. Akhirnya, yang t</span>ampil<span lang="EN-US"> di kanvas bukan saja
apa yang diucapkan tapi juga apa yang dirahasiakan. Yakni rahasia hidup
pelukisnya sendiri. Itulah kekayaan budi kesenimanan yang ajaib. Yang memberi
napas kehidupan karya seni. Sebagaimana Frida Kahlo mendenguskan: <i>lukisanku adalah diriku</i>. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
L<span lang="EN-US">ukisan</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">berjiwa ketok mengandung</span><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US">pengalaman
hidup, empirik </span>dan<span lang="EN-US"> kontemplatif, sejarah panjang dan mimpi hampa serta nyanyi sunyi.
Lahir dalam upaya pencarian diri tak berujung. Menempuh lembah teka-teki yang
tak pernah puas oleh jawaban. </span><span lang="FR">Sembari menggotong mayat dari diri sendiri. Dalam upaya menemukan momentum pemahkotaan.
</span>Saat<span lang="FR"> bekerja, pelukis menyelaraskan diri dengan irama
semesta raya. Menikahkan intuisi dengan intelektualitas di balik cakrawala
jiwa. </span><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
Maria Tjui menyatakan melukis itu
sambung nyawa. Artinya nyawa pelukis lewat cat dituangkan ke kanvas. Catnya
diberi nyawa, bukan cuma menempelkan cat ke kanvas. Sepemikiran, ibu saya Wara
Anindyah melalui bukunya Melukis Mengolah Sukma menjelaskan hal sama. Katanya, saat
melukis dia merasa bagaikan Tuhan yang meniupkan napas kehidupan pada figur-figur
di dalam kanvasnya. Sementara Pablo Picasso meyakini lukisan itu seperti
manusia. Bernapas, kelelahan dan menjadi tua renta, akhirnya kalah bertempur
melawan waktu. Ya, kalau seseorang sudah memilih seni lukis sebagai sebuah
jalan hidup, bukan cuma jalan menuju kemakmuran, pastilah mengerti cara apa
yang harus ditempuh agar mahkota jiwa ketok tergapai. Hadiah terindah bagi
seniman adalah kebahagiaan yang dialaminya saat sedang berkarya.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaLq8UyxGd6Yv7LHxis63B2p8dyRDJmKe8iN8M7aqmLjbpJu6fhJzDs8MAiamy36ivMcFqWZHI2n1_gY7USlNPRop_alt_ASE8DtUQn-VEMqcLyaoX9CcaIqj2hNLC2VBrDcltENv8YDeE/s1600/Sudjojono+Basuki+Abdullah+Lukisan+Karya+Seni+Rupa+Baru+Seruni+Bodjawati.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1193" data-original-width="1600" height="476" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaLq8UyxGd6Yv7LHxis63B2p8dyRDJmKe8iN8M7aqmLjbpJu6fhJzDs8MAiamy36ivMcFqWZHI2n1_gY7USlNPRop_alt_ASE8DtUQn-VEMqcLyaoX9CcaIqj2hNLC2VBrDcltENv8YDeE/s640/Sudjojono+Basuki+Abdullah+Lukisan+Karya+Seni+Rupa+Baru+Seruni+Bodjawati.jpg" width="640" /></a></div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br />
Kala memimpin Persagi, S. Sudjojono
mengingatkan bahayanya godaan uang bagi pelukis. Sebab kekuasaan uang itu
memabukkan. Bisa melumpuhkan semangat kesenimanan. Uang segudang tak lagi
dikuasai tapi malahan menguasai. Pikiran cuma mengarah pada uang. Bukan
mengarah pada peningkatan kualitas semaksimal mungkin. T<span lang="EN-US">erkecuali </span>bagi<span lang="EN-US"> orang-orang tertentu yang iman kesenimanannya kuat. Makin banyak
uang makin hebat karyanya. Namun sejarah membuktikan lebih banyak pelukis mati muda
gara-gara mendadak kaya. </span>P<span lang="EN-US">ensiun justru setelah hidupnya terjamin. </span>M<span lang="EN-US">eluncurkan karya dengan
mengkhianati kejujuran hati nurani. Tak peduli pada jiwa ketok. Bahkan dengan
elegan ditendangnya keanggunan wajah Sang Jiwa Ketok yang celaka. Sebaliknya,
dibuktikan oleh sejarah, karya-karya masterpieces biasanya lahir di saat-saat
pahit, derita mengelucak, dan kemiskinan mendera. Lihat saja karya Vincent van
Gogh, Rembrandt van Rijn, Frida Kahlo, Hendra Gunawan, S. Sudjojono. </span>P<span lang="EN-US">enderitaan adalah
kekuatan yang merupakan sumber tenaga kreativitas terbaik. </span>I<span lang="EN-US">nilah yang membuat </span>S. Sudjojono <span lang="EN-US">berkata,
“Kalau takut </span>miskin dan <span lang="EN-US">terkena TBC jangan jadi pelukis!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
Lantas<span lang="EN-US"> apakah
pelukis itu sebaiknya tidak usah kaya? Ah, itu kuno. Menjadi kaya raya itu
baik, hebat dan indah pasti. Itu rahmat, perlu disyukuri. Asal setelah kaya </span>harta <span lang="EN-US">jangan miskin jiwa</span>, m<span lang="EN-US">iskin kreativitas dan sportivitas. Kekayaan bisa memakmurkan. Tapi
kemakmuran tidak menjamin adanya kesejahteraan. Memang, pelukis itu juga
manusia. Perlu uang untuk biaya hidup. Perlu hidup enak juga. Namun sebagai <i>makhluk berbudaya</i>, rejeki berlebih
semestinya dikembalikan kepada alam dan kebudayaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US">Pelukis </span>perlu<span lang="EN-US"> malu kalau tak bisa membuat karya bagus. </span>M<span lang="EN-US">engejar mutu itu
kewajiban. Di tahun 1940-an pun, S. Sudjojono telah menggedor-gedor jantung
kreativitas para murid dan sahabatnya. </span>Katanya,<span lang="EN-US"> pelukis sejati tak ada alasan untuk tidak
melukis. Kalau tak punya kanvas dan cat melukislah dengan kertas bekas dan
pensil. Kalau tak ada kertas dan pensil melukislah dengan arang di lantai atau
tembok. Kalau tak ketemu arang dan lantai atau tembok, melukislah dengan jari
di atas tanah. </span>Dan k<span lang="EN-US">alau tak dapat tanah</span>? <span lang="EN-US">Melukislah di langit
dengan matamu!</span><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US">Musashi memilih jalan pedang maka yang senantiasa
digelisahkannya adalah pertarungan. Orang yang memilih jalan kanvas juga selalu
menggelisahkan bagaimana menaruh harga diri dan kehormatannya di </span>atas <span lang="EN-US">kanvas. Perlu
direnungkan juga kalimat mutiara Lao Tse, “Manusia unggul mengerti apa yang
benar. Manusia rendah tahu apa yang laku dijual.” Karena itu, jangan biarkan
lukisan kagum kepada uang. Tapi biarlah uang mengagumi lukisan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="EN-US"><br /></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
Yogyakarta<span lang="FR">, </span>2014<o:p></o:p></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="FR">Seruni Bodjawati,
pelukis </span>dan esais</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-69852091734810558532014-01-29T15:05:00.003-08:002014-04-19T13:08:01.673-07:00MEMANDANG SENI RUPA TIONGHOA<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8ymFKVp3XcaQiFGI20NHQ2UQJ282KEYl33D5ZVAPXZh-rWIWZdEvPRZuknu4aOeqA2qIy5tDV7RwxYtr5jDoFLIBqc9uEw8we8akAZ3coHkdGctfPJI-9DF4IueLg5x7cnZCerMj60Sfh/s1600/Seruni+Bodjawati+Seni+Rupa+Tionghoa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8ymFKVp3XcaQiFGI20NHQ2UQJ282KEYl33D5ZVAPXZh-rWIWZdEvPRZuknu4aOeqA2qIy5tDV7RwxYtr5jDoFLIBqc9uEw8we8akAZ3coHkdGctfPJI-9DF4IueLg5x7cnZCerMj60Sfh/s1600/Seruni+Bodjawati+Seni+Rupa+Tionghoa.jpg" height="297" width="400" /></span></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta</span></td></tr>
</tbody></table>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Sahabat
keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu
saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang
cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar.
Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada,
mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan
orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina.
Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu
hanya ada di Indonesia saja.”</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Kalau
ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi
sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda
hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun
temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola
adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes
menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi
dipijak di situ langit dijunjung.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Di
mana pun mereka tinggal, peran serta mengembangkan dan memajukan
lingkungan selalu dilakukan. Baik di bidang seni budaya, keagamaan
dan peri kehidupan sosial lainnya. Tentu tanpa meninggalkan karakter
yang sudah berurat-berakar yang dibawa dari tanah leluhur yakni
berkaitan dengan pengutamaan kekerabatan dan ingatan pekat terhadap
tanah leluhur. Kedua hal itulah yang memersatukan mereka sebagai ras
kuning. Di belahan dunia mana pun mereka berada meski satu sama lain
dipisahkan oleh jarak yang tak terkira jauhnya. Ajaran tiga guru
bangsa yaitu Lao Tse, Kong Hu Cu dan Mencius yang dipraktekkan
langsung secara disiplin selama ribuan tahun tanpa terputus membuat
kemungkinan seperti itu terjadi.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Tak
aneh jika ahli sejarah kebudayaan Tiongkok, Elizabeth Seeger, sampai
menyatakan bahwa di mana pun orang-orang Cina berada mereka tetap
Cina. Dan pakar bangsa-bangsa, L. Stodard, di tahun 1920-an sudah
meramalkan bahwa banjir Sungai Kuning akan menggenangi seluruh
penjuru dunia. Memang, mereka secara naluriah atau bahkan secara
sistematis didorong oleh penguasa negerinya dari zaman ke zaman untuk
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Daya tahan kemanusiaannya yang
kuat, di mana seekor beruang kutub pun tak mampu bertahan hidup tapi
orang Cina mampu hidup hanya dengan semangkuk bubur, membuat mereka
selalu unggul dibanding masyarakat setempat. Sebagai perantauan
mereka hidup dengan berdagang dan berwirausaha, serta membangun
kerajaan-kerajaan ekonomi melalui aktivitas bisnis dengan jurus Sun
Tzu. Kecerdasannya bisa dilihat dari penerapan falsafah kuno yang
sederhana: jangan sekali-kali membuka toko kalau tidak bisa
tersenyum. Atau, kalau mencari jarum carilah di toko Cina.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Kuatnya
sistem kekerabatan membuat tingginya kemampuan mengatasi berbagai
persaingan keras. Dan akhirnya membuat mereka tampak ekslusif.
Keunggulan selalu melahirkan kecemburuan sosial. Padahal sebenarnya,
hampir semua bangsa perantau akan selalu bersikap ekslusif di tanah
barunya. Demi keamanan diri dan keuntungan seluas-luasnya. Lihat saja
perantauan Arab, India, bangsa-bangsa kulit putih sangat jauh lebih
egois. Perantauan Cina tak pernah lupa menerapkan nasihat Lao Tse, di
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="clear: left; float: left; font-family: inherit; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbZW72CElRaZkkZidrct5xTtS40xveaNwFev-aD5AkbFqMnx3g57jqeMME2HLz8bMNKc_xZsLOn6LPVhPFXf4Ah6RF1q9miy8KTy6JMnKrc59wH59bCE6odIPIcB-F3VOJv2hL_XmBSewn/s1600/The+Last+Emperor+Puyi+Art+Seruni+Bodjawati.jpg" height="640" width="426" /></span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
Ahli
sejarah Tiongkok, Nio Joe Lan, menerangkan hal ikhwal tentang sebutan
Tionghoa di tanah pertiwi ini. Di zaman Hindia Belanda, abad XV,
datanglah orang-orang Tiongkok ke beberapa wilayah Nusantara. Asalnya
dari daerah tertentu (Hokkian?), sekadar untuk mencari nafkah dan
penghidupan baru. Mereka ini dinamakan orang Tionghoa. Konon mereka
memang dari suku Tionghoa. Mereka rata-rata miskin, hidup sangat
sulit dan berat. Karena itu mereka tak pernah berniat pulang lagi ke
negeri leluhurnya. Menyatu dengan masyarakat setempat dan menjalin
pola hidup bersama. Hanya sampai generasi ketiga saja tak lagi
menggunakan bahasa leluhurnya, karena memang sudah tidak bisa. Mereka
menggunakan bahasa Melayu Pasar (Melayu Rendah) karena aktivitas
pergaulan mereka di pasar sebagai pedagang, buruh, atau kuli. Mereka
inilah yang lalu disebut sebagai Tionghoa Peranakan. Dalam khazanah
sastra kita, ada genre sastra (terutama jenis cerita picisan) berupa
cerita silat atau roman yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu
Pasar (Melayu Rendah). Nah, kalangan Tionghoa Peranakan inilah yang
menuliskannya. Sumber ceritanya terkadang dari Negeri Tiongkok yang
mereka dengar dari penuturan para tetuanya.</div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Dalam
selang waktu cukup panjang, berdatangan susul menyusul orang-orang
Tiongkok berasal dari wilayah-wilayah lainnya. Oleh masyarakat
setempat mereka juga disebut Tionghoa, padahal sebenarnya mereka di
Tiongkok bukan bersuku Tionghoa. Barangkali karena ciri-ciri fisik
yang sama, kulit kuning dan mata sipit, itulah yang membuat
masyarakat setempat menyebut mereka juga Tionghoa. Kaum pendatang
kedua ini kuat ekonominya, terpelajar, dan berbudaya tinggi. Mereka
berbicara dengan bahasa Tiongkok hingga generasi berikutnya.
Aktivitasnya murni dagang dan mencari peruntungan sebanyak mungkin.
Dan selalu terobsesi pulang ke Tiongkok lagi dengan membawa kekayaan
yang lebih besar. Bahkan kalau mati meminta mayatnya dibawa kembali
ke Tiongkok untuk dikuburkan di sana. Nah, mereka inilah yang disebut
sebagai Tionghoa Totok.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Kaum
Tionghoa Totok inilah yang mengusahakan tumbuhnya sekolah-sekolah
Tionghoa, dan membuat berbagai organisasi untuk memperjuangkan
masyarakat Tionghoa secara keseluruhan. Hal ini dilakukan setelah
menyadari sikap diskriminatif yang dilakukan pemerintah Hindia
Belanda. Makin pesatnya pendidikan Tionghoa membuat kaum peranakan
menjadi lebih mudah dan makmur hidupnya. Tak lagi menghabiskan
waktunya untuk mengurusi masalah perut belaka. Di saat inilah mulai
berkembang lebih jelas kehidupan berkesenian, berkebudayaan, dan
kebutuhan mengekspresikan diri melalui cara-cara berartistik.
Termasuk di dalamnya adalah penulisan karya sastra, pemanggungan
tonil, pertunjukan pawai Barongsai dan tentu saja melukis.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Masyarakat
Tionghoa di zaman kekuasaan Hindia Belanda bagai memiliki dua
kewarganegaraan. Dianggap sebagai rakyat pemerintah Hindia Belanda
sekaligus rakyat dari pemerintah Tiongkok. Yang jelas mereka
diposisikan berbeda dengan pribumi. Itulah sebabnya kalangan pejuang
kemerdekaan Indonesia jengkel pada masyarakat Tionghoa. Karena mereka
hanya berdiri sebagai penonton, menunggu arah angin bertiup, saat
para pejuang kemerdekaan habis-habisan bertaruh nyawa. Tentu saja ada
tidak sedikit masyarakat Tionghoa yang ikut bahu membahu
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka ini dari kalangan
Tionghoa Peranakan, yang sudah menganggap bumi tempat mereka lahir
sebagai tanah airnya sendiri.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Melacak
perkembangan seni rupa masyarakat Tionghoa betapa sulitnya. Sebab
betapa sedikitnya catatan yang pernah dibuat orang dan tidak mudah
menemukannya. Dari ribuan tumpukan majalah semasa pergerakan
kemerdekaan hingga zaman Orde Lama yang dikoleksi keluarga saya
hampir tak terjumpai ulasan seni rupa yang cukup bisa digali. Di
majalah seperti Soeloeh Pemoeda, Poedjangga Baroe, Tamansiswa,
Wanitatama, Zaman Baroe, Sin Po, Star Weekly, Varia, Pandji Poestaka,
Poestaka dan Boedaja, Basis, Zenith, Indonesia, Budaja, dan lain-lain
tak ditemukan informasi berarti. Penerbitan buku mengenai hal ini
juga tak ada. Yang banyak diberitakan dan diekspose adalah mengenai
seni pertunjukan dan karya sastra Tionghoa Peranakan.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Kalau
menyeksamai betapa suburnya penerbitan buku cerita dan maraknya seni
pertunjukan seperti opera/tonil, wayang Potehi, Barongsai, dan lain
sebagainya, semestinya seni rupanya subur pula. Sebab buku cerita dan
majalah seperti Sin Po membutuhkan ilustrator yang cakap menggambar.
Begitupun bidang seni pertunjukan membutuhkan orang yang cakap
berseni rupa, terutama melukis, untuk mengerjakan </span><span style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">make
up</span></i></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">,
dekorasi, dan masalah tata artistik lainnya. Tentunya juga untuk
membuat poster, iklan atau reklame. Tanpa orang-orang yang cakap di
bidang seni rupa tidak mungkin hal-hal tersebut dapat dikerjakan
dengan baik. Entah kenapa tak ada cukup catatan yang membuat para
perupa masa itu bisa tampil ke permukaan.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Namun
meski sedikit, ada juga yang dikemukakan majalah Sin Po -
wekelijksche - editie, 26 Juli 1941. Oleh penulis berinisial S.T.K
dikemukakan mengenai bakal diadakannya pameran lukisan
(</span><span style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">tentoonstelling
schilderijen</span></i></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">)
tanggal 8 Agustus 1941 di Kunstzaal Firma G. Kolff & Co.,
Rijswijk, Batavia - C oleh beberapa pelukis Tionghoa. Diceritakan
sedikit mengenai asal usul para pelukis dan keistimewaannya. Mereka
kelahiran awal tahun 1900-an yaitu Tan Liep Poen, Lee Man Fong, Chia
Choon Khui, Jauw Soei Kiong, Tan Soen Kiong, Kho Wan Gie dan Siauw
Tik Kwie. Yang menarik, Siauw Tik Kwie memberikan gambaran betapa
hidup para pelukis kala itu dijerat kemiskinan sehingga rata-rata
berwajah pucat dan berbadan kurus. Meski begitu, ia mengajak siapa
saja yang punya panggilan jiwa sebagai pelukis untuk tabah dan terus
melukis dengan menyiasati keadaan. Jangan tunduk dan menyerah oleh
kemiskinan. Katanya, kesukaan yang sejati tak akan bisa diubah dan
tidak bisa dipengaruhi oleh kekayaan dunia.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Sesudah
Indonesia merdeka secara otomatis orang Tionghoa yang memilih tetap
tinggal di Indonesia menjadi penduduk negeri ini. Pentingnya posisi
pelukis Tionghoa dapat dilihat dari kepercayaan Bung Karno kepada Lim
Wasim dan Lee Man Fong untuk menyusun buku Lukisan-lukisan dan
Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno, terbit tahun 1960-an. Buku
tiga edisi ini hingga sekarang tetap menjadi buku seni rupa paling
hebat, yang mengemukakan koleksi seorang presiden di dunia. Tak ada
presiden mana pun di dunia yang memiliki kecintaan, visi, dan misi di
bidang seni rupa yang bisa menandingi kehebatan presiden RI pertama,
Ir. Soekarno. Buku edisi pertama terdiri dari empat jilid, hanya
memuat koleksi lukisan saja. Dicetak di Peking dengan sistem tempel.
Pilihan koleksi untuk jilid satu dan dua dilakukan oleh Dullah yang
merupakan pelukis istana. Pilihan koleksi untuk jilid tiga dan empat
dilakukan oleh pelukis Lim Wasim. Edisi kedua juga dengan sistem
tempel dicetak di Tokyo terdiri dari lima jilid, yang kesemua karya
diseleksi dan disusun oleh Lee Man Fong. Tambahan jilid lima khusus
memuat karya patung dan porselin. Edisi ketiga isinya sama persis
dengan edisi kedua, bedanya hanya menggunakan sistem cetak langsung
(gambarnya tidak di tempel) sehingga wujud bukunya menjadi lebih
tipis. Sebenarnya sudah siap angkat cetak, draf nya sudah dibuat,
jilid keenam sampai sepuluh. Konon malah sudah jadi beberapa
eksemplar sebagai sample. Sayang keberadaannya tidak terlacak.
Kejatuhan Bung Karno oleh penguasa Orde Baru membuat rencana
penerbitan jilid enam sampai sepuluh ini gagal total. Sungguh, hal
ini merupakan kerugian luar biasa hebat bagi sejarah seni rupa
Indonesia masa depan.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Peristiwa
G30S/PKI dan bangkitnya era Orde Baru tahun 1965 di bawah Presiden
Soeharto membuat para perupa Tionghoa kian tidak jelas keberadaannya.
Mereka tiarap dan tak berani unjuk diri. Apalagi yang melukis dengan
gaya klasik atau tradisi sebagaimana yang ada di negeri Cina,
benar-benar tidak bisa tampil ke permukaan karena larangan
pemerintah. Seperti diketahui, penguasa Orde Baru membuat
kebijaksanaan politik yang sangat membatasi gerakan masyarakat etnis
Cina (Tionghoa). Termasuk di dalamnya pelarangan ditampilkannya
kesenian yang berbau tanah leluhur Tiongkok.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Rezim
Orde Baru dihantui trauma berkaitan dengan gerakan orang-orang
Tionghoa yang tergabung dalam organisasi BAPERKI terbukti menjadi
agen dari pemerintah RRC yang membantu PKI hingga menyebabkan
tercetusnya pemberontakan G30S/PKI. Pelampiasannya ditimpakan pada
masyarakat Tionghoa secara keseluruhan. Yakni dengan mengeluarkan
berbagai keputusan pemerintah yang meminggirkan hak-hak etnis
Tionghoa sebagai bagian dari rakyat negara Indonesia. Penerapan
asimilasi mengharuskan penggantian nama Cina dengan nama Indonesia,
anjuran kawin campur, dimaksudkan untuk mengikis sikap ekslusif. Juga
agar mereka lebur menjadi benar-benar Indonesia, menghapus ingatan
dan hubungan spiritualnya dengan negeri leluhur. Mana bisa? Sungguh
absurd! Ajaran Tao sebagai jalan hidup tak mungkin bisa ditanggalkan.
Keyakinan akan Tao itulah yang membuat semua orang Cina tetap menjadi
Cina di belahan bumi mana pun mereka berada dan meski telah menjadi
warga negara mana pun juga.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Rupanya
tekanan rezim Orde Baru dan trauma peristiwa G30S/ PKI, membuat etnis
Cina di Indonesia merasa lebih nyaman disebut Tionghoa. Sebutan Cina
menimbulkan konotasi yang tidak membahagiakan. Untunglah, sesudah
reformasi presiden Abdurrachman Wahid mengembalikan hak-hak istimewa
masyarakat Tionghoa sebagai warga negara Indonesia. Termasuk di
dalamnya mengekspresikan seni budaya yang dulu dibawa dari daratan
Cina dan hak berpolitik. Kini etnis Cina di Indonesia tak lagi perlu
punya alasan untuk gatal telinga dengan sebutan Cina. Tapi rupanya
bagi kebanyakan orang sebutan Tionghoa tetap terasa lebih indah.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="clear: left; float: left; font-family: inherit; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOB1_vcKABAlXNVJvDgEnUbDgEXJ3Re1yq81EvHnNU7WzYhEBg7C6sZ9UvQz1vP_hRNoL2uffXGgfUzmudiZghY8g4A0bxJGxRHLTAN859Z3WJ0Rg5Vz4Ntggxoz_WfiP9-cpO0E_uAZ39/s1600/Empress+Dowager+Cixi+Art+Seruni+Bodjawati.jpg" height="640" width="468" /></span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
Nah,
kembali ke perbincangan seni rupa. Semasa kencangnya kekuasaan Orde
Baru, para pelukis berdarah Tionghoa sebenarnya berkembang lebih
baik. Hanya saja mereka menggunakan teknik modern dari Barat, dengan
muatan ide yang universal, dan cuatan ekspresi individualistik.
Posisi mereka rata-rata kuat karena ditunjang kemampuan ekonomi yang
baik sehingga tak kesulitan berproduksi. Ditambah adanya
infrastruktur yang mulai terbentuk cenderung menguntungkan mereka.
Tanpa bermaksud mengumbar rasialisme, pelukis Fadjar Sidik di tahun
1990-an pernah berkeluh kesah. Katanya, “Yah, gimana lagi. Para
pemilik galeri, pedagang, art dealer, kolektor, pengamat dan
kritikus, pemilik media masa kebanyakan orang Tionghoa. Ya, tentu
saja yang diangkat-angkat setinggi langit ya para perupa berdarah
Tionghoa.”</div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Di
era Orde Lama hingga awal Orde Baru bisa dikemukakan perupa Tionghoa
yang menonjol antara lain Lee Man Fong, Lim Wasim, Siauw Tik Kwie,
Ling Nan Lung, Yap Kin Kun, dan Huang Fong. Sedang di masa
pertengahan Orde Baru hingga sesudah reformasi bisa dideret nama Jim
Supangkat, FX Harsono, AS Budiono, Kok Poo hingga ke generasi Agus
Suwage dan Ay Tjoe Christine. Kalau mau disebut lagi nama pelukis
yang orang tuanya nikah campur, misalnya ayah Tionghoa dengan ibu
Jawa/Sunda dan sebaliknya, bisa disebut Affandi, Dadang Christanto,
dan Wara Anindyah yang bernenek keturunan Tionghoa. Tentu masih
banyak lagi yang sebenarnya bisa dikemukakan, sayangnya datanya
sangat sulit dicari.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Para
perupa tersebut di atas dari segi kreativitas memiliki pengaruh yang
signifikan bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Karyanya variatif,
dengan ide-ide dan pemikiran yang merangsang lahirnya
penjelajahan-penjelajahan baru bagi para seniman lainnya. Jim
Supangkat sebagai corong Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975, juga FX
Harsono dan Agus Dermawan T., sangat lantang gema vokalnya hingga
sekarang. Menginspirasi generasi berikutnya tak henti-henti. Dadang
Christanto melalui karya Seribu Satu Manusia Tanah sangat menghentak.
Perannya mendorong maraknya seni instalasi di negeri ini harus
diapresiasi. Bersamaan tumbangnya Orde Baru muncul lagi Sidik W.
Martowidjojo yang lama terbenam, menggebrak dengan </span><span style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">basic</span></i></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">
lukisan Cina klasik. Yang fenomenal Wara Anindyah dengan menampilkan
figur-figur masyarakat Tionghoa dari masa lalu. Pameran tunggal Wara
Anindyah di Jakarta, Surakarta, dan Yogyakarta mendapat sambutan
media massa amat sangat luas dan mendalam. Dikemukakannya gambaran
masyarakat Tionghoa dengan sentuhan suasana dan cita rasa artistik
berbeda dan belum pernah dikerjakan oleh seniman lain sebelumnya.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Pengamat
seni rupa Agus Dermawan T. lebih sepuluh tahun lalu pernah menulis
bahwa yang bermain di pasar seni rupa, dalam hal ini adalah pembutuh
karya, 90% adalah orang Tionghoa. Mereka adalah kolektor dan
kolekdol, </span><span style="font-size: small;"><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">art
dealer</span></i></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">
dan pemilik galeri. Dari hitungan 90% itu yang 90% adalah bukan
kolektor murni. Alias pedagang murni dan para pembeli yang kalau
bosan dijual lagi untuk cari untung juga. Itulah sebabnya pasar seni
rupa Indonesia bisa riuh rendah. Penuh kejutan, trik, intrik, dan
konflik. Sebab dunia perdagangan memang selalu riuh rendah. Apalagi,
suka atau tak suka, para pedaganglah penguasa yang menentukan arah
kompas.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Dari
kalangan galeri bisa dideret nama terkemuka seperti Hendra Hadiprana
(Galeri Hadiprana), Edwin Rahardjo (Edwin’s Gallery), Andi Yustana
(Andi’s Gallery), dan lainnya. Dari kalangan kolektor berpengaruh
tercantum nama Ir. Ciputra, Dr. Oei Hong Djien, Ir. Deddy Kusuma,
Budi Tek, Budhi Setya Dharma, Siswanto HS, Soenarjo Sampoerna, Dr.
Melani W. Setiawan, dan berderet-deret lainnya.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> Sudah
tentu tak perlu diherankan, kalau kenyataan dunia seni rupa yang
tumbuh di Indonesia akan selalu menguntungkan para perupa Tionghoa.
Tapi di luar kepentingan ekonomi, seni itu maha misterius, terlalu
liar untuk bisa dikendalikan oleh kekuatan politik. Penggila seni
yang fanatik akan selalu memburu karya-karya terbaik dari mana pun
asalnya dan siapapun pembuatnya. Perupa Tionghoa yang tak mengejar
mutu pasti akan tenggelam dengan sendirinya. Hasil-hasil karya yang
bermutu tinggi pasti akan menjulang dan bertahan meski dibuat oleh
orang Jawa, Bali, Sunda, Batak, Minang, Dayak yang buta huruf
sekalipun. Hukum keabadian seni sangat berbeda dengan hukum politik
dan dagang. Seni adalah revolusi abadi. Adalah waktu yang dihentikan
dalam keabadian.</span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: right;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Seruni
Bodjawati</span></div>
</div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: right;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Yogyakarta,
7 Oktober 2013
</span></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm; text-align: right;">
<div style="text-align: justify;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">*Esai dimuat
di MataJendela – Taman Budaya Yogyakarta, Volume VIII Nomor 4/
2013</span></div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-66090657605809548872014-01-23T16:19:00.001-08:002014-01-23T16:23:12.866-08:00Media Massa dan Kritik Seni Rupa<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1D7A1WwaKbtvDvWOdRFHj316KtSUZP5yLHPk9ID-3ksOSwOMtcuGjZq1pQErJ585LL_wicO8lt-KL6ij5QymZU5cLOupm1XQvIpz9QQbZfLR7s1VsesagqHje9wvALtQM4kdPOIG0Ho-R/s1600/Seruni+Bodjawati+Kritik+Seni+Rupa+Jawa+Pos.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1D7A1WwaKbtvDvWOdRFHj316KtSUZP5yLHPk9ID-3ksOSwOMtcuGjZq1pQErJ585LL_wicO8lt-KL6ij5QymZU5cLOupm1XQvIpz9QQbZfLR7s1VsesagqHje9wvALtQM4kdPOIG0Ho-R/s1600/Seruni+Bodjawati+Kritik+Seni+Rupa+Jawa+Pos.JPG" height="400" width="255" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos</td></tr>
</tbody></table>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="fi-FI">Media
massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk
peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat
perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa
terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia
berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu
kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman
ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya
kreativitas menggelegak. </span><span lang="sv-SE">Inovasi dan
terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh
lebih intens dan memukau.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="sv-SE"> </span><span lang="fi-FI">Apa
pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi
rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para
seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor
dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin
memahami seluk beluknya. </span><span lang="sv-SE">Namun jarang ada
pihak yang mengerti secara bijak mengenai karakteristik dan posisi
jurnalistik seni rupa di media massa. </span><span lang="fi-FI">Termasuk
para perupa sendiri. </span><span lang="sv-SE">Seringkali terlontar
berbagai keluhan mengenai bobot dan cakupan tulisan serta detail dan
kedalaman kritiknya. Tentunya hal ini terjadi akibat tiadanya
pemahaman memadai tentang berbagai persoalan yang ada.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="sv-SE"> Jurnalistik
seni rupa di media massa punya bentuk beragam. Ada yang berupa
laporan sekilas pandang, mirip berita biasa, acapkali ditulis oleh
wartawan bukan ahli seni rupa dan karenanya lebih mengutamakan
hal-hal yang bersifat informatif atas data-data faktual belaka.
Mungkin juga akan ditambah sedikit komentar sederhana untuk
mempermanis tulisan agar enak dibaca. Tentu saja tulisan semacam ini
tidaklah mendalam. Sebab memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah
tinjauan seni. Ada pula jenis tulisan panjang, cukup komplit dan
mendalam yang biasa dimuat di rubrik khusus budaya. Seringkali dibuat
oleh penulis lepas yang sengaja mengirimkannya ke redaksi. Kebanyakan
orang lantas menganggapnya sebagai tinjauan seni bahkan kritik seni.</span></div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
Seyogyanyalah, yang paling berkompeten melakukan kritik seni adalah
ahli seni. Tapi tidak setiap ahli seni dapat menjadi kritikus seni.
Ada berbagai prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi kritikus
seni, apalagi kritikus seni di media massa. Salah satu yang mutlak
adalah kemampuan menulis yang baik dan benar, enak menyajikannya,
sesuai tuntutan media massa dalam melayani kebutuhan pembaca yang
terdiri dari berbagai lapisan masyarakat.</div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="sv-SE"> Ahli
seni yang pintar menulis tidaklah banyak. Yang ada itupun belum tentu
mau (bisa) produktif. Padahal kebutuhan media massa akan tulisan
berupa kritik seni amatlah banyak. Akibatnya ruang kosong yang ada
sering dimasuki oleh siapa saja. Penulis ahli yang bukan ahli seni
adalah yang paling berpeluang mengisi kekosongan tersebut. Kadangkala
dengan modal pengetahuan seni tidak seberapa justru bisa bebas
berbicara panjang lebar mengenai seni. Celakanya, cara bertuturnya
amat sangat enak dibaca, gurih dan renyah serta penuh gairah dan
menggugah emosi, meski kelemahannya sungguh mendasar yakni tidak
menyentuh esensi. Padahal yang paling dibutuhkan dalam kritik seni
adalah pembicaraan mengenai esensinya.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="sv-SE"> Tidak
mudah dan bahkan cukup berat menulis kritik seni rupa di media massa.
Disamping dihadang keterbatasan ruang dan deadline, masih dibebani
keharusan untuk mencerdaskan dan mencerahkan pembaca. Sementara
pengejaran terhadap aktualitas membuat waktu merenung tak bisa
berpanjang-panjang. Perlu kecerdikan tertentu dalam bekerja agar
kelemahan mendasar yang tak mungkin dihindari bisa teredam</span><span lang="sv-SE">.
Belum lagi risiko moralitasnya, semakin banyak mengkritik berarti
semakin banyak menambah musuh. Secantik apa pun tampilan sebuah
kritik tetap tak akan gampang diterima dengan lapang dada oleh pihak
sang seniman. Konon seniman adalah makhluk paling manja di dunia.
Cepat cemberut kala dikritik dan segera meledak bahagia kala dipuja.
Bergurau pula, bahwa kritikus itu hanyalah orang lumpuh yang gemar
menghardik orang agar berlari kencang. Tak aneh jika kemudian lebih
banyak kritikus seni pensiun dini hari.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="sv-SE"> Kritik
jurnalistik seni rupa yang termuat dalam jurnal berkala atau majalah
khusus seni rupa lebih mungkin memberikan kepuasan dari segi
kedalaman tinjauannya. </span><span lang="fi-FI">Sebab disamping
halaman yang tersedia lebih luas juga segi aktualitas peristiwanya
tak terlalu dipusingkan. Di sini kritikus bisa lebih mengendapkan
hasil perenungan dan pemikirannya sebelum menuangkan ke dalam
tulisan. Aturan penuturan yang dikehendaki teoritikus Joseph
Darracott bisa diterapkan yaitu deskripsi, interpretasi dan evaluasi.
Dengan ini kritikus menempuh ujiannya sendiri berkaitan dengan
penguasaan terhadap seluk beluk elemen-elemen estetika, teori-teori
seni rupa dan tuturan bahasa. Mampukah mengajak pembaca turut
memasuki kesadaran kritis terhadap karya kreatif seniman?</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="fi-FI"> Kritik
seni hanyalah bagian gejala dari persoalan besar dunia seni rupa.
Kritik hanya bersifat membantu (memandu) pemahaman dan tanggapan
masyarakat terhadap karya seni rupa. Tak boleh dianggap mutlak
kebenarannya. Sangat boleh tidak dipercaya, disangsikan, digugat dan
dipertanyakan kembali. </span><span lang="sv-SE">Kritik yang baik
selalu membuka pintu untuk mendapat serangan balik. Dengan begitu
dialog panjang akan terjadi untuk menemukan kemungkinan terbaik. Pada
akhirnya memang mutu muatan tulisan sangat bergantung pada kapasitas
dan kualitas pengetahuan (pengalaman) dari sang kritikus sendiri.
Jadi, kritikus hanya akan matang kalau juga mendapat banyak kritik.</span><br />
<span lang="sv-SE"><br /></span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0cm;">
<span lang="fi-FI">*</span><span lang="fi-FI">Seruni
Bodjawati, </span><span lang="id-ID">pelukis dan esais.</span></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-39707315559681857592012-12-04T03:34:00.001-08:002014-12-03T15:00:25.383-08:00FRIDA KAHLO: LOVE & TRAGEDY (English Essay)<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="//www.youtube.com/embed/utsVQ-coNUo" width="560"></iframe>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Ewho
Gallery, Seoul, South Korea Presents Global Art Project (Indonesia & Korea)</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“FRIDA
KAHLO: LOVE & TRAGEDY”</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Seruni
Bodjawati and Higi Jung</span></b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Essay
by Seruni Bodjawati<o:p></o:p></span></b><br />
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Man
is a mystery. Although his physical action can be read, but the motion of his soul
is unpredictable where it leads. Inside a human's</span><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 200%; text-indent: 36pt;"> mind, there are endless possibilities. If a human is being compared to universe, he is like a small
cosmos and the universe is like a big cosmos. Remarkably, the big cosmos can be
stored in a small cosmos. The human mind itself can be smaller than a grain of sand and when it is deployed, it can be wider
than the universe. Yes, man is a great mystery, for himself or for others.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Higi
Jung tried to interpret the figure of Frida Kahlo with the sharpness point of
view that is left loose. Excerpts meaning embodied in the works of photography.
Her artistic presentation technique is unique. She presents a psychological
analysis as an expression of short poems. It is fresh with surprises that are
igniting enlightenment. The shortness of expression precisely impresses the
longevity of distraction power in creativity that is difficult to be measured.
Frida’s existence as a source of inspiration is described as eternal riddle.
Man is a big question mark. His imperfection becomes the falsification of his
wholeness. The secret of the noise is located on the edge of silence. The
maturity is within the simplicity reflexion. Photographic works of Higi Jung
become an unexpected appeal precisely because its expression is very close to
everyday reality. Similar wonders to the heartbeat. It is fused in the body
until it has palpable presence.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Higi
Jung was born in Uncheon, Kunggi-do, on December 5, 1986. She ever stayed in
Moscow, Russia, in 1991-1993. Until now she is living in Seoul, South Korea. In
2009 she graduated from Chung-Ang University in creative writing and
photography. Getting to know Frida Kahlo at the age of 17 through the film
titled <i>Frida</i>. Her curiosity with the Mexican legend was made her
continuously hunting information via internet and books. Finally, the
figure of Frida is used as a source of ideas for work, especially in
photography.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Frida
Kahlo is known in the art world because of her life history was full of colour
and wave. She was born on July 6, 1907 and died on July 13, 1954. Living amid
the roar of the Mexican revolution made her experienced tragic events. A great
traffic accident made her suffering pains for life. Her marriage with a
muralist, Diego Rivera, was widening inner wounds as well as boosting her
creativity. Her affair with a communist leader, Trotsky, became a glamorous
myth. Her attitude was reckless, with the lion guts, banging on the walls of
the establishment. In short, her life story is as important to talk about as
the awesomeness of her artworks. Recorded Frida made 143 paintings, 55 of
which are self-portraits which often incorporate symbolic depiction of the
physical and psychological wounds. She insisted, "I never paint dreams or
nightmares. I paint my own reality.”<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%;">
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="//www.youtube.com/embed/jls0G4yenEs" width="560"></iframe>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-indent: 36pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Equally
fascinated by Frida Kahlo, I agreed to collaborate with Higi Jung in the
project <i>Frida Kahlo: Love & Tragedy</i>, supported by Ewho Gallery,
Seoul, South Korea. Since high school, starting when I was 15 years old, I have
created dozens of paintings with the main object of Frida Kahlo figure. Working
together with Higi Jung would certainly be an important record for both our
artistic journeys.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-indent: 36pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">There
are seven pieces of my paintings I created in this art project. Five pieces
sized 200 x 145 cm; <i>A Couple of Rebels, Glimpses of Morning Star,
Children of Heaven, The Legend Vanished in Memories </i>and<i> The
Silent World of Frida</i>. Two others are <i>Conquering the World</i> sized
200 x 300 cm and <i>Opera Pablo Pickahlo</i> sized 250 x 200 cm. The
media of all my artworks are acrylic on canvases. My inclination is to tell by
the winged language. I see the figure of Frida Kahlo in my artworks as an
existence plagued with gloom fate. Full of problems, rebelling to grey fate,
continuously searching for herself holding a twist of death on her back. As
human with multidimensional characters, the figure is hammered with a big
question mark that will never go over answered. I also idealize it by intentionally
increasing the volume of humanity. In order for the dramatic aspects that were
created can be sticking sharper. Decorative technique is quite dominating the
whole field of the canvases. Surrealistic atmosphere is spreading in the stern
expression. The power of colours is slightly muted to strengthen the suggestive
power and fantasy games.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-indent: 36pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">By
featuring the clarity of mind, Higi Jung created eight photographic works.
Two of them are self-portraits. Four of them were shot with a model of South
Korean actress, Jaehwa Kim, her own cousin. And two works were shot with a
model of a Javanese woman, Darajati Pertiwi. She shot the six works in South
Korea. Two works titled <i>Women F # 5 Pink Tears </i>and <i>Women
F#6 Connivance</i> were created in Indonesia when she was visiting
Yogyakarta. In the series of <i>Women F, </i>summarized eight works
titled <i>Spring Fever, Do not be Afraid, Summer House, Ponds in the
Forest, On the Carpet with Tiny Ducks, Pink Tears,</i> <i>Connivance, </i>and<i> Gaze. </i>Thick
eyebrows that characterize Frida Kahlo character are imposed on the face of the
model to build a new character. It is an affirmation of the view that women are
strong, independent and having unbeatable freedom. This is a maturation of
culture that tends to push the perception that women should be gentle and pure.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-indent: 36pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">At
last, my collaboration with Higi Jung will be a silent dialogue that will never
end. From two different and far places we look toward a same point. Although
the direction of our view is the same but our minds are wandering into the
wilderness that much different. Indeed, a friendship becomes beautiful when
each person is left to be himself to the fullest.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<br /></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Yogyakarta,
23 October 2012</span></div>
</div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-50412484298718756722012-12-04T03:26:00.000-08:002012-12-04T03:28:35.425-08:00FRIDA KAHLO: LOVE & TRAGEDY (Indonesian Essay)<iframe allowfullscreen="allowfullscreen" frameborder="0" height="360" src="http://www.youtube.com/embed/utsVQ-coNUo" width="640"></iframe><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: center;">
<b style="line-height: 200%;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></b>
<b style="line-height: 200%;"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Ewho Gallery, Seoul, South Korea
Presents Global Art Project (Indonesia & Korea)</span></b><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">“FRIDA KAHLO: LOVE & TRAGEDY”<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Seruni Bodjawati and Higi Jung<o:p></o:p></span></b></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Essay oleh Seruni Bodjawati<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Manusia itu sebuah misteri. Meski
aksi fisiknya bisa dibaca tapi gerak sang sukma tak bisa diduga kemana arahnya.
Di dalam diri manusia terkandung kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas.
Jika diibaratkan, diri manusia adalah jagat kecil dan alam semesta adalah jagat
besar. Hebatnya, jagat besar dapat disimpan di dalam jagat kecil. Pikiran manusia
sendiri, jika dipadat-ringkaskan menjadi lebih kecil dari sebutir pasir. Dan
bila digelar menjadi lebih luas dari jagat raya. Ya, manusia adalah misteri
besar, bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Higi Jung mencoba menafsirkan figur
Frida Kahlo dengan ketajaman sudut pandang yang dibiarkan longgar. Petikan
maknanya diwujudkan dalam karya fotografi. Teknik penyajian artistiknya unik.
Menyajikan analisis kejiwaan seperti ungkapan puisi pendek. Segar dengan
kejutan memantikkan pencerahan. Kependekannya justru mengesankan kepanjangan
daya ganggu kreativitas yang sukar diukur. Eksistensi Frida sebagai sumber
inspirasi dijabarkan sebagai teka-teki abadi. Manusia adalah tanda tanya besar.
Ketidaksempurnaannya menjadi penyempurna keutuhan dirinya. Rahasia keriuh
rendahannya terletak pada tepi kesunyiannya. Kematangan ada di dalam lantunan
kesederhanaan. Karya-karya fotografi Higi Jung menjadi tak terduga daya
tariknya justru karena ekspresinya sangat dekat dengan realitas sehari-hari.
Mirip keajaiban detak jantung. Yang menyatu di tubuh sampai tak teraba
keberadaannya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Higi Jung lahir di Uncheon, Kunggi-do,
pada 5 Desember 1986. Pernah tinggal di Moscow, Rusia, tahun 1991-1993.
Selebihnya hingga kini menetap di Seoul, Korea Selatan. Tahun 2009 menamatkan
studi penulisan dan fotografi dari Universitas Chung-Ang. Mulai mengenal Frida
Kahlo saat usia 17 tahun melalui film berjudul <i>Frida</i>. Rasa penasarannya terhadap legenda Meksiko itu membuatnya
tak henti-henti memburu informasi lewat internet dan buku-buku. Akhirnya sosok
Frida dijadikan sumber ide untuk berkarya, terutama fotografi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Frida Kahlo dikenal di dunia seni
rupa karena sejarah hidupnya penuh warna dan gelombang. Lahir 6 Juli 1907 dan
meninggal dunia 13 Juli 1954. Hidup di tengah deru revolusi Meksiko dialaminya
berbagai peristiwa tragis. Kecelakaan lalu lintas yang hebat membuatnya
menderita kesakitan seumur hidup. Perkawinannya dengan muralis Diego Rivera
mengangakan luka-luka batin sekaligus melejitkan kreativitasnya.
Perselingkuhannya dengan tokoh komunis Trotsky menjadi mitos yang gemerlap.
Sikapnya ugal-ugalan, dengan nyali singa, menggedor-gedor tembok kemapanan. Pendeknya,
sepak terjangnya tak kalah penting untuk dibicarakan dibanding kedahsyatan
karya-karyanya. Tercatat Frida membuat 143 lukisan, 55 di antaranya merupakan
potret dirinya yang sering menggabungkan penggambaran simbolis dari luka fisik
dan psikologis. Ia bersikeras, “Aku tidak pernah melukis impian atau mimpi
buruk. Aku melukis realitasku sendiri.”<o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></div>
<iframe allowfullscreen="allowfullscreen" frameborder="0" height="360" src="http://www.youtube.com/embed/jls0G4yenEs" width="640"></iframe>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> </span><br />
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Sama-sama terpesona pada Frida
Kahlo, saya bersepakat berkolaborasi dengan Higi Jung dalam proyek </span><i style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Frida Kahlo: Love & Tragedy</i><span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 200%;">,
disupport oleh Ewho Gallery, Seoul, South Korea. Sejak duduk di bangku SMA,
usia 15 tahun, sudah puluhan lukisan saya buat dengan objek utama figur Frida
Kahlo. Kerja bareng dengan Higi Jung tentu akan menjadi catatan penting bagi
perjalanan kesenimanan kami berdua.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Ada tujuh buah lukisan karya saya
yang saya kemukakan dalam kolaborasi ini. Lima buah berukuran 200 x 145 cm,
yaitu <i>Sepasang Pemberontak, Kemilau
Bintang Pagi, Anak-Anak Langit, Legenda Lenyap dalam Kenangan</i> dan <i>Dunia Senyap Frida</i>. Dua yang lain <i>Menaklukkan Dunia</i> ukuran 200 x 300 cm
dan <i>Opera Pablo Pickahlo</i> ukuran 250 x
200 cm. Semua karya saya bermedia akrilik di atas kanvas. Kecenderungan saya adalah
bercerita dengan bahasa bersayap. Figur yang saya tokohkan saya pandang sebagai
sebuah eksistensi yang dirundung kesuraman nasib. Penuh problematika, memberontak
terhadap takdir kelabu, terus menerus mencari dirinya sendiri sambil
menggendong suratan kematian di punggung. Sebagai manusia multidimensional sang
tokoh digodam tanda tanya besar yang tak kunjung usai dijawab. Saya
mengidealisirnya pula. Yaitu dengan sengaja memperbesar volume kemanusiaannya.
Agar segi-segi dramatik yang tercipta dapat mencuat lebih tajam. Teknik
dekoratif cukup mendominasi keseluruhan bidang kanvas. Suasana surealistis
terebakkan dalam ekspresi tegas. Tenaga warna sedikit diredam untuk memperkuat
daya sugesti dan permainan fantasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Dengan mengedepankan kejernihan daya
pikir Higi Jung membuat delapan karya fotografi. Dua dengan model dirinya
sendiri. Empat dengan model aktris Korea Selatan, Jaehwa Kim, sepupunya
sendiri. Dua dengan model seorang perempuan Jawa, Darajati Pertiwi. Pemotretan
atas enam karya dilakukan di Korea Selatan. Sedangakan dua buah lagi <i>Women F#5 Pink Tears </i>diambil di
Indonesia ketika berkunjung ke Yogyakarta. Dalam Seri <i>Women F </i>dirangkum enam karya berjudul <i>Spring Fever, Don’t be Afraid, Summer House, Ponds in the Forest, On
the Carpet with Tiny Ducks, Pink Tears, Connivance, </i>dan<i> Gaze</i>.<i>. </i>Alis mata tebal
yang menjadi ciri khas karakter Frida Kahlo dikenakan pada wajah sang model
untuk membangun karakter baru. Merupakan sebuah penegasan pandangan bahwa
perempuan itu kuat, mandiri dan kebebasannya tak terkalahkan. Inilah
pendewasaan pandangan budaya yang cenderung mendorong bahwa perempuan itu harus
lemah lembut dan murni.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> Akhirnya, kolaborasi saya dengan
Higi Jung akan menjadi dialog senyap yang takkan kunjung putus. Dari dua tempat
yang saling berjauhan kami memandang ke arah satu titik yang sama. Meski arah
pandangan sama tapi pikiran kami mengembara ke belantara yang jauh berbeda.
Memang, persahabatan menjadi indah ketika masing-masing orang dibiarkan menjadi
dirinya sendiri sepenuh-penuhnya. <o:p></o:p></span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"><br /></span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;">Yogyakarta,
23 Oktober 2012<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 200%;"> <o:p></o:p></span></div>
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-17667498377405216742012-06-10T23:00:00.001-07:002014-04-08T04:04:48.559-07:00EVA BUBLA PAINTING WITH CONSCIENCE<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaP-fQSzUhdin7wtkl2cGw8szhFKAEaP0CbhIsJbi_KY8xgFVWoG3E5YwW-WuNytVv_ZKffMsTrEm9RMy4nObDpJck0FDOElk-UqvuXOTn4-vb927sILtLaumawOZRgPKcesjGkGTKfDUO/s1600/Seruni+Bodjawati+Kurator+Tembi+Rumah+Budaya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaP-fQSzUhdin7wtkl2cGw8szhFKAEaP0CbhIsJbi_KY8xgFVWoG3E5YwW-WuNytVv_ZKffMsTrEm9RMy4nObDpJck0FDOElk-UqvuXOTn4-vb927sILtLaumawOZRgPKcesjGkGTKfDUO/s400/Seruni+Bodjawati+Kurator+Tembi+Rumah+Budaya.jpg" height="400" width="284" /></a></div>
<br />
<br />
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<i><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">the virtuous man is driven by responsibility</span></i></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<i><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">the non-virtuous man is driven by profit</span></i></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<i><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">(Kong Fuzi)</span></i></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Imagination is more powerful than knowledge. A developed imagination allows the transformation of reality into eternity. Artists who build their dreams from a mass of ideas which ensnared them while awake from their sleep will stop the time in perfection. Art is a continuous revolution. A constant search until it reaches the limits of the impossible. Vitality is insistently vibrated to refuse mortality. Bringing the non-existence into existence. Thus, it is understandable to say that a work of art is the biological child of the artist.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Eva Bubla (27), a resident of Hungary, has been productive of bearing children after marrying the God of Beauty. Her children are in the form of paintings for Eva Bubla, which has consecrated herself to be a painter. Her experiences and the deepening of life underlie her creative process. The self-existence, the problems and conflicts, the perspectives in deciphering the secrets of the universe, and the inner voices are coloring her artistic expressions. Her paintings are not just arranged visual elements. There is a shadow of spirituality and the secrets of the psychological being that are told in disguise. Like poetry without words or music with no sounds. Singing without a voice, writing without words, or speaking without language. Yet, the meanings are set out in a beautiful and sturdy unity.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">In her solo exhibition titled “All Eye Am” her acrylic paintings on canvas are unfolded. Their main subject matters are landscapes and figures. Everything is made in Yogyakarta based on her social experiences for about a year of living in Yogyakarta. Eva is studying Painting at FSR ISI. Culture clashes, conflict of values, psychological storm, yearnings and hopes are impressively applied in the paintings that tend to be calming and polite. The feelings of confusion and amazement, while at the same time the realization that she is having two feet in two countries (one foot in Indonesia and one foot in Hungary) have made her dreams and imagination explode. Intuitively all explosions are muted. Therefore, her works are not sensational. Even so, the magic has created a layered and stratified sensation rich in aroma. Simplicity precisely reinforces its essence and existence. Certainly, wisdom and virtue are always simple. Likewise the intelligence and the purity of heart. Honesty does not require any arguments. Neither complication nor convolution. No sophistication or a dressing of glamorous jewels. All the techniques and emotions present everything as they are for the coronation of truth.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">My father Sri Harjanto Sahid, a humanist, when seeing the paintings of Eva Bubla for the first time, spontaneously commented that Eva painted with the eyes of a poet's heart. The universe is breathing in her work. The poetic atmosphere is flowing with the rhythm that feels very lyrical. There was a complete silence. Atmosphere is presented with spiritually soft and luxurious touch. Therefore, the simplicity is a selected simplicity by the maturity of thought. Hence, with the mind it is not easy to fall in love with Eva’s paintings, it is only possible with the heart. But if the love begins to bloom, it will last for a very long time. Love comes without realizing and it cannot be denied. It is sufficient to be felt without having to understand it.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjoCWJ9npWfub1P1bVOEpD4khYldZeueP0EutcxsGGq425-7m9CZeMORRXcoqsTX-FGI7fHeioqUhjtatZ5S6_7euhJlLBH3EgO5QEMzMdcr2OFIJb58iSzN1hv_slMqcOwnL1Iwyzbv0B/s1600/Seruni+Bodjawati+Indonesian+Curator-TembiRumah+Budaya.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjoCWJ9npWfub1P1bVOEpD4khYldZeueP0EutcxsGGq425-7m9CZeMORRXcoqsTX-FGI7fHeioqUhjtatZ5S6_7euhJlLBH3EgO5QEMzMdcr2OFIJb58iSzN1hv_slMqcOwnL1Iwyzbv0B/s400/Seruni+Bodjawati+Indonesian+Curator-TembiRumah+Budaya.JPG" height="290" width="400" /></span></a></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Eva’s artworks are different than the local artworks of Indonesia. Indeed, even though she has been studying at ISI, she has already become a painter in her country. Style, technique and character of her art have been assembled. The rest are the development and improvement which come along with time and productivity. Acrylic is mixed with plenty of water, making it flow over the canvas. The element of surprise emerges from the surface, like an unexpected accident. Afterward, she plays with the surface. Important details are clarified and the rest is let in abstract.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">In ensnaring and appreciating her object, Eva tried to be always </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">manjing sajroning kahanan</span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">, melting with the situation and circumstances surrounding her. Unlike a tourist who only shares a glance and then takes photos. Yet she remains independent, wholly, with her personality. Appreciating the events and the universe of Yogyakarta with the mindset and taste of a Hungarian. Mount Merapi is painted by superimposing an aura of mystic, magic, and myth about spirits. Her masterpieces, </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">The Spirit of Merapi </span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">and</span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> The Sound of Silence</span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"> emit the irrational things. Her personal experience appears in paintings of figures which reflect her speechlessness caused by love, confusion, disappointment and the continuous search of universal morals, freedom, and inner peace. The voice of conscience became a pillar that supported her art structure. Whatever was lost will come back as a new possession. The past cannot be undone. The future is nothing but the present is perceived. That's why the past is always actual.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">The real self can only be found in the depth of the self itself. Despite the steep winding road. My friend Eva Bubla, I congratulate you for your exhibition!</span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br />
Yogyakarta, May 14, 2012</span><br />
<u><b><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">SERUNI BODJAWATI</span></b></u><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Curator</span></div>
<div align="RIGHT" style="margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-77281665837246650252012-06-02T00:03:00.005-07:002014-04-08T04:05:06.392-07:00EVA BUBLA MELUKIS DENGAN HATI NURANI<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjChNaH0hIlBHq6aYRtYITsPgsaM88KI00qskW522XGDyp7IcjvZQpu-QZaJW5yvnQuc6R4xGHK9xCbfQVa1538S1ABwzf1t-P_i5BQwZuwLC9ohWue63-_nUkurHb7l3GamQvU5stuhaRE/s1600/Seruni+Bodjawati+Kurator+Tembi+Rumah+Budaya.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjChNaH0hIlBHq6aYRtYITsPgsaM88KI00qskW522XGDyp7IcjvZQpu-QZaJW5yvnQuc6R4xGHK9xCbfQVa1538S1ABwzf1t-P_i5BQwZuwLC9ohWue63-_nUkurHb7l3GamQvU5stuhaRE/s400/Seruni+Bodjawati+Kurator+Tembi+Rumah+Budaya.jpg" height="400" width="284" /></span></a></div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">manusia unggul mengerti apa yang benar</span></i></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">manusia rendah mengerti apa yang laku dijual</span></i></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">(Kong Fuzi)</span></i></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Imajinasi lebih kuat dari pengetahuan. Daya khayal yang dikembangkan mampu mengolah realitas menjadi sebuah keabadian. Seniman yang membangun mimpi dari tumpukan ide yang disergap saat terjaga dari tidur akan menghentikan waktu dalam kesempurnaan. Seni adalah revolusi tanpa henti. Pencarian terus menerus hingga mencapai batas-batas yang paling mustahil. Daya hidup digetarkan bertubi-tubi menolak daya mati. Menjadikan yang tiada menjadi ada. Maka bisa dimengerti jika dikatakan bahwa sebuah karya seni merupakan anak kandung dari senimannya.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Eva Bubla (27 tahun) warga Hongaria, setelah menikah dengan Dewa Keindahan cukup produktif melahirkan anak. Anak-anaknya berupa lukisan-lukisan sebab Eva Bubla menasbihkan dirinya menjadi seorang pelukis. Pengalaman dan pendalaman hidup mendasari proses kreatifnya. Keberadaan diri, problem dan konflik, cara pandang dalam membaca rahasia alam semesta dan bisikan hati sangat mewarnai ekspresi artistiknya. Lukisannya bukanlah sekadar unsur-unsur visual yang ditata. Ada bayangan spiritualitas dan rahasia kejiwaan yang diomongkan secara tersamar. </span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Dalam pameran tunggal bertajuk </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">All “Eye” Am </span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">tergelar lukisan bermedia akrilik di atas kanvas. Pilihan objek utamanya adalah pemandangan dan figur. Semuanya dibuat di Yogyakarta berdasarkan pengalaman bersosialisasi selama kurang lebih setahun tinggal di sini. Eva kuliah Seni Lukis FSR ISI. Benturan budaya, konflik nilai, badai kejiwaan, kerinduan dan harapan secara impresif teraplikasikan di dalam lukisannya yang cenderung tenang dan santun. Perasaan galau dan takjub manakala menyadari dalam waktu sama menginjakkan dua kaki di dua negara (satu kaki di Indonesia dan satu kaki di Hongaria) membuat mimpi dan imajinasinya meledak-ledak. Secara intuitif semua ledakan diredam. </span><span lang="en-US"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Oleh karena itu</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">, karyanya tidak sensasional. </span><span lang="en-US"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Namun</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">, keajaiban membuatnya memiliki sensasi berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat serta kaya aroma. Kesederhanaan justru memperkuat esensi dan eksistensinya. Ya, kebijakan dan kebajikan memang selalu sederhana. Begitu pula kecerdasan dan kemurnian hati. Kejujuran itu tidak membutuhkan argumentasi apa pun. Tidak rumit dan berbelit-belit. Tidak dicanggih-canggihkan dan tidak didandani dengan perhiasan-perhiasan gemebyar. Semua teknik maupun emosi hadir apa adanya demi pemahkotaan kebenaran.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span style="line-height: 150%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">
</span><span style="line-height: 150%;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Ayah saya Sri Harjanto Sahid, seorang budayawan, saat pertama kali melihat lukisan-lukisan Eva Bubla spontan berkomentar. Katanya, Eva melukis dengan menggunakan mata hati seorang penyair. Semesta bernapas di dalam karyanya. Suasana puitis mengalir dengan irama yang terasa amat liris. Keheningan memekat. Atmosfer dihadirkan dengan sentuhan lunak dan mewah secara rohaniah. Karenanya, kesederhanaannya adalah kesederhanaan yang terseleksi oleh kematangan berpikir. Makanya, tak akan gampang orang lain jatuh cinta kepada lukisan Eva hanya dengan pikiran, namun juga harus dengan hati. Tapi kalau cinta mulai merekah akan bertahan amat sangat lama. Cinta datang tanpa disadari dan tak mungkin diingkari. Cukup dirasakan saja tanpa harus dimengerti.</span></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLu3wgT3yVWO79YduNyp3Upl9MmPAC5W5NZypiwnpsJssA8rF4mbLqG2KSH160mC1ilvn5PBqo8dG4uTLaMyqeH1PJuoYN5E7YJhkUb9TvvUbbciE4cWfn17ch4E_WhxsMprLVh-tnqlHJ/s1600/Seruni+Bodjawati+Eva+Bubla+Hungary+Tembi+Rumah+Budaya+2012.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLu3wgT3yVWO79YduNyp3Upl9MmPAC5W5NZypiwnpsJssA8rF4mbLqG2KSH160mC1ilvn5PBqo8dG4uTLaMyqeH1PJuoYN5E7YJhkUb9TvvUbbciE4cWfn17ch4E_WhxsMprLVh-tnqlHJ/s400/Seruni+Bodjawati+Eva+Bubla+Hungary+Tembi+Rumah+Budaya+2012.jpg" height="400" width="386" /></span></a></div>
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Ditekankan Eva, bahwa karyanya berbeda dengan karya-karya lokal Indonesia. Memang, meski ia kuliah di ISI tapi ia sudah </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">pelukis jadi </span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">sejak dari negaranya. Gaya, teknik dan karakter kesenilukisannya sudah ketemu. </span><span lang="en-US"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Untuk kedepannya t</span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">inggal dikembangkan dan ditingkatkan bersama mengalirnya waktu dan produktivitas. Akrilik dicampur dengan banyak air dan membuatnya mengalir di atas kanvas. Muncullah berbagai kejutan dari background dasar, tak terduga mirip kecelakaan. Sesudahnya, ia bermain dengan background dasar itu. Detail-detail penting diperjelas gambarannya dan sisanya dibiarkan abstrak.</span><br />
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Dalam menyergap dan menghayati objeknya, Eva berusaha selalu </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">manjing sajroning kahanan</span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">, lebur dengan situasi dan keadaan yang mengepung dirinya. Bukan seperti turis yang sekilas pandang lantas memotret. Tapi ia tetap mandiri, utuh, dengan kepribadiannya. Menghayati peristiwa dan semesta Yogyakarta dengan pola pikir dan cita rasa orang Hongaria. Gunung Merapi dilukis dengan melapiskan aura mistis, kegaiban, dan dongengan seputar makhluk halus. Karya </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">The Spirit of Merapi </span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">dan </span><i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">The Sound of Silence </span></i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">memancarkan hal-hal yang bersifat irrasionalitas. </span><span lang="en-US"><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Pengalaman pribadinya tampak pada lukisan-lukisan figur yang merefleksikan ketidakmampuannya mengungkapkan ekspresi rasa cinta, kebingungan, kekecewaan serta pencarian terus menerus mengenai moral universal, kebebasan jiwa, dan kedamaian diri. </span></span><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Suara hati nurani menjadi tiang yang menyangga bangunan kesenilukisannya. Apa pun yang telah hilang akan datang kembali sebagai kekayaan yang baru. Masa silam tak bisa dihapus. Masa depan tak lain masa kini yang dirasakan. Itulah sebabnya, masa lalu selalu aktual.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Diri sendiri hanya bisa ditemukan di kedalaman diri sendiri. Meski jalannya terjal berliku-liku. Sahabatku Eva Bubla, selamat berpameran!</span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4218494227989410462&postID=7728166583724665025&from=pencil" name="_GoBack"></a> Yogyakarta, 14 Mei 2012</span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">SERUNI BODJAWATI </span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Kurator</span></div>
<div align="RIGHT" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm;">
<span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-align: justify;">
<i><span class="Apple-style-span" style="font-family: inherit;">Pameran tunggal seniman Hongaria, Eva Bubla, dilaksanakan di Tembi Rumah Budaya pada tanggal 1-7 Juni 2012. </span></i></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-47641570720407463272012-06-01T23:47:00.000-07:002012-06-01T23:47:39.172-07:00Atteindre l'équilibre à travers l'Art<div style="text-align: justify;">«Notre siècle est le siècle de l'art», écrit Thomas Hoving, le rédacteur en chef de Connoisseur et ancien directeur du Metropolitan Museum of Art.«La civilisation assimile l'art avec l'éternité." Le sens de la phrase, pas vraiment une nouveauté, a été décrié par les État-Unis et a provoqué l’étonnement de différentes communautés à travers le monde. Durant la période de la Grèce antique, la civilisation elle même était considérée comme art de l'immortalité. Les répercussions pour la civilisation émanent de brillantes réalisations artistiques, tant dans le domaine de la littérature, art, musique, théâtre, etc.</div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNM4ll6sjK-GCXDE-N21ZMyt-ficcr5l4x_bR5vepGQM4mATo5hBkZdQUls6vwEDYcw-TY9jRAHHPux6tjkMjB2zZcbjgu8YawvcL6pXTrRWQ2_PNglj4xOpFghYldWF-gmJbtEhY5loj_/s1600/CHINA_CHRISTIES_AUCTION.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNM4ll6sjK-GCXDE-N21ZMyt-ficcr5l4x_bR5vepGQM4mATo5hBkZdQUls6vwEDYcw-TY9jRAHHPux6tjkMjB2zZcbjgu8YawvcL6pXTrRWQ2_PNglj4xOpFghYldWF-gmJbtEhY5loj_/s400/CHINA_CHRISTIES_AUCTION.jpg" width="400" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;">Notre civilisation en mouvement est la plus importante de l'histoire des civilisations. Une période de l'innovation technologique qui ne cesse d'augmenter de façon remarquable. Notre communauté est immergé dans le flot d'informations et a soif de connaissances ; les opportunités économiques sont abondantes et les politiques hallucinantes. Réformer peut signifier l’inattendu. Une immense avancée de la culture, inconcevable auparavant émerge de la volonté de tous et tout à coup. L’accélération, à tous les niveaux de vie entrainera une course plus intense. Provoquer le changement, élargir les émotions...La conscience augmente et nous avons la volonté de regarder derrière nous, et en nous,. Mais nos valeurs d’humanité sont-elles fallacieuses ?</div><div style="text-align: justify;">Au milieu de toutes ces innovations qui, inévitablement, causent des problèmes, l’être humain doit gérer les paradoxes d’un positionnement intellectuel de plus en plus compliqué. Le temps libre est souvent utilisé pour explorer le sens de la vie et atteindre un certain équilibre. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Toute confusion doit être neutralisée. Les frustrations ont besoin d'être apaisées, les blessures spirituelles doivent être soignées. La philosophie et l'art sont des réponses. Efface la philosophie de la turpitude de ton esprit. L’Art harmonise les sentiments chaotiques. Et enfin, les deux qui sont souvent séparés comme une âme et un corps, se manifesteront telle l’unité divine.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dans la dernière décennie, une importante nouvelle vague a mis la culture au premier plan. De New York, Pékin, Francfort, Singapour à Brisbane, les Musées d'art commencent à émeger. De magnifiques édifices, appartenant au gouvernements et aux privés, sont installés, partout dans le monde, pour sauver, maintenir, et afficher les œuvres d'art. De nombreux visiteurs apprécient et montrent leur solidarité en achetant des billets pour ces expositions. Des ventes aux enchères comme Christie's et Sotheby's voient la valeur de leurs transactions grimper chaque jour. On produit de plus en plus de grands ouvrages littéraires et la société est de plus en plus motivée pour les acheter. De nouveaux auteurs sont prêts nous proposer leurs chefs-d'œuvre.</div><div style="text-align: justify;">L’Académie suédoise et le conseil des juges sur de nombreuses récompenses, comme le Prix Nobel, Pulitzer et Booker Prize, ont plus de difficulté à déterminer qui devrait être choisi : concerts de musique, grands jeux, films de haute qualité L’enjeu est colossal pour attirer davantage d'investisseurs et plus de fonds pour leurs productions. L’opinion des commerçants est obsolète, l'OMS a déclaré que le poids d'un travail d'art n'est plus applicable. Maintenant, la communauté mondiale a besoin plus que d’un simple divertissement facile, un divertissement intellectuel qui est capable de donner l'éveil à l'âme. Ces canettes vues sur les travaux de la pop, montrent les efforts à limiter ce contenu à des idées révolutionnaires ; le strict respect de l'esthétique effectuée peut être approfondie dans la contemplation. Les romans de JK Rowling (Harry Potter ), le Da Vinci Code de Dan Brown, le film Get Married de Hanung Bramantyo, les peintures de Wara Anindyah en sont des exemples marquants. Apparemment, plus le niveau intellectuel de la société augmente, plus grande est la qualité exigée pour une œuvre d'art.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRwpjuyTsxkKrIcCF8-yjXqF9p5VYB9SQNd-0TGODtkEzYPtqyupPJFbanHy_rAl2gvu857iuZAJlwicgIvTc4utw4-vC5qZSD4QjGxseWJbCGZ_CwBG36f54idz4bJmyS3nuUu9wreNou/s1600/Wara+Anindyah-Percintaan+Seribu+Hari-2005-400x300cm.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="293" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRwpjuyTsxkKrIcCF8-yjXqF9p5VYB9SQNd-0TGODtkEzYPtqyupPJFbanHy_rAl2gvu857iuZAJlwicgIvTc4utw4-vC5qZSD4QjGxseWJbCGZ_CwBG36f54idz4bJmyS3nuUu9wreNou/s400/Wara+Anindyah-Percintaan+Seribu+Hari-2005-400x300cm.jpg" width="400" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Qu’est-ce qui est en place dans notre propre pays aujourd'hui pour la Culture ? Le ministre du Tourisme, Jero Wacik, s’était plaint à plusieurs reprises des petits budgets proposés par le gouvernement pour l'art. Le centre de documentation pour la littérature HB Jassin risque la vetusté à cause d'un manque de fonds pour son entretien. Si le financement de l'entretien est difficile, les fonds de développement servent à quoi ? Combien de musées dans différentes villes ont été transformés en une sorte de maison hantée ou en trou à rats ? De nombreux éditeurs de livres idéalistes et de qualité sont jetés aux oubliettes ? A qui profite Cette nation!</div><div style="text-align: justify;">Je n’ai jamais entendu le gouvernement, de grandes entreprises, ou des entrepreneurs qui veuillent et qui réussissent à faire don de terres ou de maison à un artiste !</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pour sa vie, pour être plus à l'aise, plus créatif et plus apte à apporter sa contribution de manière significative à la patrie et la nation? Des cadeaux sont déjà souvent fait aux athlètes et aux politiciens, car ils sont considérés comme les guerriers de la nation!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">En ce qui concerne les autres guerriers des nations, comme les romanciers, poètes, peintres, marionnettistes, acteurs, danseurs et compositeurs, pourquoi ne peuvent-ils faire de même? La tradition veut que les artistes peuvent à peine survivre et n’ont pas d’aide. Quand ils ont vraiment accompli quelque chose, ils peuvent alors réclamer de l’aide aux organismes gouvernementaux. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">A l’occasion de l’exposition "Trans-Figurations, Mythologies Indonésiennes", l’Espace culturel Louis Vuitton a permis, via une plateforme numérique a permis de relier de jeunes indonésiens et de jeunes français, régulièrement et dans divers endroits, ces deux dernières années. On constate que peu de collectionneurs ont visité la dite exposition. Même aujourd’hui, au Musée national Jogja, une exposition qui cherche à récolter des fonds pour les victimes Merapi, et où près de 500 oeuvres d’art sont exposées ! Seule une oeuvre a été vendue à un allemand. Quelle tristesse, une seule œuvre d'art vendue pour financer l'aide aux victimes Merapi! Une œuvre d'art ! Malgré le fait qu'il y ait des centaines de collectionneurs dans la région autour de Yogyakarta et Merapi. On dit que les riches collectionneurs sont encore réticents à acheter localement. Les peintures ne sont pas un investissement rentable. Hélas, dans un pays lointain, Thomas Hoving a dit : «La tendance est de mesurer la qualité du travail d'un peintre, tout simplement par le nombre de dollars qu’il rapporte, c'est écoeurant !»</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">La lecture de la poésie ne peut se faire sans l'enthousiasme du cœur. Les peintures ne peuvent pas être interprétes avec un simple coup d'œil. La beauté de la musique ne peut nous atteindre pendant notre sommeil. Assister à un spectacle de comédie avec une rage de dents est impensable. Oui, les œuvres d'art ne sont pas seulement des matériaux terrestres. Ce sont des forces invisibles qui continuent à vibrer et qui possède leur propre résonance. Grâce à elles, l’harmonie, la beauté d'une âme, l'énergie de l'univers et la nature divine, sont des moments figés pour l'éternité. En ces temps chaotiques, l'art nous garantit un certain équilibre. Une grande nation est une nation qui valorise les arts. Le pouvoir de l'art sera toujours de reéquilibrer grande nation.</div><br />
<i>- Seruni Bodjawati</i><br />
<span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: inherit;">**Merci beaucoup pour Nelly Kerfanto.</span></span>Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-15983254746196362252012-06-01T23:45:00.001-07:002012-10-20T18:42:44.438-07:00ACHIEVING BALANCE THROUGH THE ARTS<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJN_Yv8rIVmWf2KL-4aomGXqVZoLia15379gqc6AZui70hqzi64T4nim_yT1K2ySBgWbGvH7v5cH7mkba1q5XdC4Mppij8lkOmj-XwhDT5jNdG9VLFQWawrtRjJNnjfePn_rOmf8A4eHij/s1600/inside-of-metropolitan-museum-with-art-collections-1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="253" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJN_Yv8rIVmWf2KL-4aomGXqVZoLia15379gqc6AZui70hqzi64T4nim_yT1K2ySBgWbGvH7v5cH7mkba1q5XdC4Mppij8lkOmj-XwhDT5jNdG9VLFQWawrtRjJNnjfePn_rOmf8A4eHij/s400/inside-of-metropolitan-museum-with-art-collections-1.jpg" width="400" /></a></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0in;">
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<br /></div>
<div align="JUSTIFY" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
"Our century is the century of art", wrote Thomas Hoving, the editor of Connoisseur and former director of the Metropolitan Museum of Art. "Civilization equates art with eternity." The meaning of the sentence, which is not really a new matter, was bellowed by the great United State and somehow gave a certain astonishment to the worldwide community. Whereas in the days of Ancient Greece, civilization had been comparing art with immortality and so it was believed to be the century of art. The summit of civilization’s gains was marked by the emergence of brilliant artistic achievements, both in the field of literature, art, music, drama, and so forth. People who were uninterested and bare not to appreciate the art, were considered to be in the class of those who were left behind.</div>
<div align="JUSTIFY" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=4218494227989410462&postID=1598325474619636225&from=pencil" name="_GoBack"></a> Now is the most important momentum in the history of civilization. A period in which technological innovation keep growing remarkably. The community is submerged in the flood of information and craving of knowledge. Economic opportunities are abundant and politic reformation is mind-blowing that it opens unexpected means. An immense, inconceivable culture will emerge from of all a sudden. Acceleration in all joints of life will run more intense. Fomenting the change, broadens the emotions, heightens awareness, and finally forces us to look back to the deepest niche of our souls and our humanity values in disguise.</div>
<div align="JUSTIFY" style="font-family: inherit; line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
Amid the storm of innovation which inevitably causing some frictions, certainly contribute to an intensified inner war in ourselves. Leisure time often used to explore the meaning of life for the sake of reaching equilibrium. Confusion needs to be neutralized. Frustrations need to be appeased; spiritual wounds have to be medicated. Philosophy and art is the answer. Philosophy clears the turbidity of mind. Art harmonizes the chaotic feelings. And finally, both of which often can be united like a soul and a body, would be manifested as the God of Diversion who continued to be sought.</div>
</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; font-family: inherit; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0FRupwVDye3pA17LSqp3PMVaQVDT6dYcmIFRwYyHjRlDCU08p1lONzewi9z0nIMoQdewAd20YvbE7XsqpAO9M26MJ-N37tBJDpud-QvQoLSjGir_ARW_JnxDGuNm5Gpj-C__So-B1OKkM/s1600/holscipres.010.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span class="Apple-style-span"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0FRupwVDye3pA17LSqp3PMVaQVDT6dYcmIFRwYyHjRlDCU08p1lONzewi9z0nIMoQdewAd20YvbE7XsqpAO9M26MJ-N37tBJDpud-QvQoLSjGir_ARW_JnxDGuNm5Gpj-C__So-B1OKkM/s400/holscipres.010.jpg" width="400" /></span></a></div>
<div align="JUSTIFY" style="font-family: inherit; line-height: 0.29in; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<br /></div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="font-family: inherit; line-height: 0.29in; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
It wouldn’t be an odd that in the last decade, a very significant new wave in the extend of cultural history, showed up as if it never happened before. From New York, Beijing, Frankfurt, Singapore to Brisbane, art museums are starting to come into surface. Various magnificent buildings either belong to government, private, and personal, are established everywhere just to save, maintain, and display the works of art. Visitors flock appreciates it by buying tickets. Auction houses like Christie's and Sotheby's transaction’s value are continued to climb up each day. Great literature books are increasingly produced more and society is more and more motivated to buy them. New authors are vying to make their masterpieces. Swedish Academy and the board of judges on numerous awards like Nobel, Pulitzer and Booker Prize are more difficult to determine who should be selected. Serious music concerts, great plays, high quality colossal movies attract more and more investors to funds their productions. Obsolete opinions from traders, who said that the heavier a work of art the less it would be desirable, is not applicable anymore. Now, the worldwide community needs more than just easy entertainment, but more to intellectual entertainment that is able to give enlightenment to the soul. This can be seen even on the works of pop, that there are efforts to condense the contents with breakthrough ideas, and strict consideration of aesthetic performed and in-depth contemplation included. Harry Potter novels by JK Rowling and The Da Vinci Code by Dan Brown, film Get Married Hanung Bramantyo works, paintings of Wara Anindyah would merely become some examples. Seemingly, the higher the intellectual level of society, the higher the level of demand in consuming the quality of a work of art. Only ailed people who always take various trashy artwork for granted. Ones who ignore the quality art life are ones who never want to be cured from their ailment.</div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
So what is up in our own country today? Culture and Tourism Minister, JeroWacik, had repeatedly complained about how small the budget given by the government for art. Documentation Center for Literary HB Jassin nearly rotted due to lack of maintenance funds. If the funding for maintenance is just pathetic, where do the development funds go? How many museums in various cities have been transformed into some kind of a haunted house or a nest of mice? How many idealist publishers of quality books are left to ruin? Who’s lost is it? This nation!</div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
Ever heard the government, large corporations, or successful entrepreneurs seek to give a gift of land and house to an artist? For his life to be more comfortable, more competitive, more creative and more able to provide meaningful contribution to the country and nation? Gifts for athletes and politicians are already frequently done because they are considered as the warriors of nation! To the other warriors of nations, like novelists, poets, painters, puppeteers, actors, dancers and songwriters, why can’t they do the same? Art traditions everywhere are left alone to hardly survive. When they actually accomplish something, and then claimed as a result of assistance provided by government agencies. There are numerous art exhibitions held in Yogyakarta throughout the year in various places in the past two years, and almost no collector visited them. Even now in Jogja National Museum, an exhibition to raise funds for Merapi victims are held, and from nearly 500 art-pieces are on display, there was only one artwork that sold to a foreigner from Germany. How sad, only one artwork sold to fund the Merapi victims! One artwork! Despite the fact that there are hundreds of collectors living in the area around Yogyakarta and Merapi. It is said that wealthy collectors are still reluctant to buy local paintings because it was not profitable as an investment. They want to wait for the right moment. Alas, in a distant land, Thomas Hoving said, "The trend of measuring the quality of the work of a painter simply by the number of dollars is sickening!"</div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0cm; text-indent: 1.27cm;">
Reading poetry cannot be done without the involvement of the heart. Powerful paintings cannot be interpreted with a glance. A life-like statue cannot be seen with eyes closed. The beauty of music is useless if it sounded when we sleep. Catch a comedy show with a toothache is certainly unpleasing. Yes, works of art is not mere worldly materials. There is an unseen force that continues to tingle within itself. Harmony, the beauty of a soul, the energy of the universe and divine nature, are moments frozen in the eternity. When the time is chaotic, it is art to balance it. Great nation is a nation that values the arts. When the joints of a great nation are uneven, the power of art will always put them back in balance.</div>
</div>
<br />
<div align="JUSTIFY" style="font-family: inherit; line-height: 0.29in; margin-bottom: 0in; orphans: 2; widows: 2;">
<span style="color: #333333;"><span lang="fi-FI">-<i>Seruni Bodjawati</i></span></span></div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-6231683866172282532011-05-16T23:04:00.001-07:002012-12-04T03:56:19.308-08:00KOMERSIALISASI SENI VERSUS IDEALISME SENIMAN<div align="JUSTIFY" style="line-height: 200%; margin-bottom: 0in;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUK1IvoUgo1V5UGGsR8KnvbCLTpK0RjU9DU620pZrj_2GX90qIXb-I_uCW1DpMISaWewQ999q_J0CHyXQcggRidl8h9-NaZaHP-g0BBgyNGN3qSIJ6iryNWskuz-TFQSJfCKMA_v3ed-gd/s1600/seruni+bodjawati+art+essay+Kedaulatan+Rakyat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="257" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUK1IvoUgo1V5UGGsR8KnvbCLTpK0RjU9DU620pZrj_2GX90qIXb-I_uCW1DpMISaWewQ999q_J0CHyXQcggRidl8h9-NaZaHP-g0BBgyNGN3qSIJ6iryNWskuz-TFQSJfCKMA_v3ed-gd/s400/seruni+bodjawati+art+essay+Kedaulatan+Rakyat.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Esai Seni Rupa oleh Seruni Bodjawati di koran Kedaulatan Rakyat</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span style="line-height: 150%;">Di era sekarang ini, tatkala konsumen didudukkan sebagai maharaja yang harus dilayani, karya seni lebih dipandang sebagai produk budaya yang dinilai secara kasat mata. Pembicaraan cenderung mengarah pada teknik pembahasaan, tingkat kesulitan pengerjaan, daya pukau yang dimiliki dan ujungnya adalah nilai nominal pasar. Sebuah karya lebih dicermati badannya dan bukan ruhnya. Bukan soal tema dan pemikiran yang diusung tapi kecanggihan penggarapan dan kekuatan sensasinya. </span><span lang="fi-FI" style="line-height: 150%;">Seni sebagai media ekspresi psikologis terabaikan. Estetika seolah dipisahkan dari emosi.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="fi-FI"><br />
</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="fi-FI"> Sewajarnyalah, arus deras komersialisasi selalu menggendong kemerosotan mutu. Produksi yang melimpah ruah meminggirkan kontemplasi. </span><span lang="sv-SE">Mengejar aktualitas. Melahirkan keserbatergesa-gesaan. Muaranya hanya pada motivasi tunggal yaitu kepentingan ekonomi. Bagaimana karya bisa lancar diperdagangkan hingga menghasilkan keuntungan materi. Apa akibatnya kalau para penyair over produktif semata-mata hanya guna menumpuk honor segunung? Para novelis kebut-kebutan seperti sopir bus kota hanya demi mengejar uang setoran? Untuk apa film kacangan dibuat bergudang-gudang banyaknya? Di seni rupa lebih menyedihkan, pendangkalan mutu biasa terjadi saat pasar sedang booming. Lantas epigonisme, pemalsuan, pencurian ide, ketidakjujuran berkarya dihalalkan akibat keserakahan akan uang.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"><br />
</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"> Memang, sebagai ekspresi paling individual karya seni bersifat nisbi. Sesuatu yang bernilai bagi seseorang belum tentu bernilai bagi yang lain. Lain kepala lain pandangan. Inilah istimewanya sebuah karya seni. Semuanya tergantung dari kemampuan dan selera dalam mengapresiasinya. Namun terlepas dari kenisbiannya sebuah karya seni haruslah memancarkan keindahan dan kegairahan. Bahasa filsafatnya: </span><span lang="sv-SE"><i>Koenst ist passie </i></span><span lang="sv-SE">artinya seni adalah keindahan dan kegairahan. Jadi sifat kerohanian sepantasnya mendasari proses kreatif penciptaan. Kalau kecondongannya ke arah pengertian yang bersifat rohani dikaburkan maka bisa diduga hal apa yang bisa terjadi.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"><br />
</span><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1qvNIILi3p9NGOLIAZZJZMsT94T1Ei6dKAyQnKkhbQOi5gSBz3LOD8_2FrsqDk-mZ-HlZNsq1dcsOGzLnwO1vKXyD-87MPluezTag1oVNPv163o24YkPmOqbOVTMxPZ0c2YTH5rrhp9hr/s1600/nyoman+masriadi+gallery.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="352" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1qvNIILi3p9NGOLIAZZJZMsT94T1Ei6dKAyQnKkhbQOi5gSBz3LOD8_2FrsqDk-mZ-HlZNsq1dcsOGzLnwO1vKXyD-87MPluezTag1oVNPv163o24YkPmOqbOVTMxPZ0c2YTH5rrhp9hr/s640/nyoman+masriadi+gallery.JPG" width="640" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Karya I Nyoman Masriadi di Paul Kasmin Gallery, New York, Amerika Serikat.</td></tr>
</tbody></table>
<span lang="sv-SE" style="line-height: 150%;">Karya yang hebat mampu menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan. Kreatornya berkemampuan menyelam ke dalam samudera kehidupan yang telah lenyap, menapaki keberadaannya sendiri dengan mantap, dan berpikir lebih maju dari masyarakat sezamannya. Sungguh benar yang dikatakan almarhum penyair besar Rendra; </span><span lang="sv-SE" style="line-height: 150%;"><i>tak seorang pun kuasa menghapus masa silam dan masa depan adalah masa kini yang dihayati. Maka perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. </i></span><span lang="sv-SE" style="line-height: 150%;">Repotnya, penilaian terhadap karya seni acapkali bersifat situasional. Suasana politik dan tatanan sosial sangat memberi pengaruh. Ernest Hemingway di masa lalu dianugerahi hadiah Nobel Sastra, belum tentu kalau dinilai saat ini akan memenangkannya. Komposisi musik Johan Sebastian Bach dianggap kuno dan ketinggalan zaman semasa hidupnya tapi seratus tahun sesudah komponis tersebut wafat malahan dianggap sangat kontemporer. Di masa Orde Baru, orang tergetar hebat membaca karya sastra Pramoedya Ananta Toer karena dilarang pemerintah. Sesudah reformasi terasa biasa-biasa saja membacanya. Karya Mochtar Lubis dan Ahmad Tohari lebih dirasakan kekuatan literernya. Sekarang ini orang lebih ingin tahu dan tertarik membaca karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Joko Pinurbo. </span><span lang="fi-FI" style="line-height: 150%;">Sepuluh tahun lalu lukisan Djoko Pekik sangat mahal di pasaran. Sementara karya pelukis muda Nyoman Masriadi masih sangat murah. Sekarang ini karya Nyoman Masriadi yang dibuat sepuluh tahun lalu nilainya di pasaran puluhan kali lipat dibanding karya Djoko Pekik. Keanehan semacam ini bisa terjadi karena kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki konsumen, sebagai maharaja konsumen memiliki pengaruh besar dalam memposisikan kedudukan sosial perjalanan karya seni. Bahkan para ahli seni, kritikus, budayawan seringkali tak berdaya, lunglai, di hadapan para konsumen sang raja uang. Yang paling parah tentu saja bila para seniman juga takluk di bawah telapak kaki para konsumen. Berkarya bukan berdasar hati nuraninya sendiri tapi sekadar menuruti kemauan pasar. </span><span lang="sv-SE" style="line-height: 150%;">Bahkan berani mengkhianati intuisinya sendiri dan menjilat pasar agar supaya karyanya dikonsumsi. Betapa tak gampangnya menjaga keseimbangan antara idealisme dengan kebutuhan menjaga asap dapur terus mengepul.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"><br />
</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"> Konsumen selalu bergerak. Pilihan, penilaian dan seleranya cepat bergeser. Yang disayang hari ini bisa dibuang esok hari. Kebosanan dan kejenuhan kapan saja bisa segera menerkam. Kondisi dan situasi pergaulan sosial budaya memberi pengaruh vital dalam pola belanja. Gaya hidup hedonis, cenderung bernikmat-nikmat dengan kekinian, tentulah melahirkan pemujaan terhadap aspek-aspek popularitas. Apa saja yang tengah populer perlu dirangkul sebab diyakini mampu meninggikan gengsi dan mempertebal harga diri. Sesuatu yang menimbulkan </span><span lang="sv-SE"><i>shock effect</i></span><span lang="sv-SE">, yang berbeda dari yang biasa ditemui, dengan cepat akan merebut pasar. Dengan rakus para konsumen segera melahapnya. Seni yang mendobrak acapkali sukses memaksa konsumen berpaling untuk setidaknya menatapnya.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"><br />
</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"> Kaum kapitalis selalu sigap merespon keadaan. Apa yang tengah populer dieksploitasi habis-habisan. Seniman dirangsang dengan jejalan uang, didorong untuk produktif sampai kehabisan daya. Saat kebosanan dan keje</span><span lang="sv-SE">nuhan konsumen menyergap maka sang seniman dibiarkan tercampak dalam kesepian yang menakutkan. Sedangkan konsumen sebagai makhluk raksasa yang selalu kelaparan hanya perlu dicarikan mainan baru.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"> </span><span lang="fi-FI">Lihatlah grup band seperti Peterpan, Raja, Sheila on 7, Letto, Kangen dan lainnya. Atau biduan dangdut seperti Lilies Karlina, Ira Swara, Cici Paramida, Ridho Rhoma dan para penyanyi KDI. Saat jaya dipuja-puja bagai dewa dan dewi. Hanya dalam waktu singkat pesta pun usai. Sang Dewa dan sang Dewi segera dilupakan pelan-pelan. Simak jugalah kehidupan seni rupa Yogya. Saat jenis karya kontemporer ala China tengah digilai maka sebagian besar perupa hanyut oleh arus gaya kontemporer ala China itu. </span><span lang="sv-SE">Jati diri hilang, karakter individual menguap. Penyeragaman gaya terjadi amat menyedihkan. Pendangkalan nilai dihalalkan hanya dengan tujuan menyerbu pasar. Hanya dalam hitungan tahun dengan jari tangan kejenuhan pasar tercipta. Kesepian menohok ulu hati.</span></div>
<div align="JUSTIFY" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<span lang="sv-SE"><br />
</span></div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
Komersialisasi dalam seni memang merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak. Perdagangan karya seni bukanlah sesuatu yang negatif. Tentu asal masing-masing pihak berdiri di wilayahnya masing-masing. Tidak saling mengintervensi. Pemilik modal jangan mendikte proses kreatif penciptaan seniman. Jangan karena merasa lebih tahu tentang kemauan konsumen lantas menjejalkan ide-ide penciptaan kepada seniman. Biarkan seniman begelut dengan dunianya sendiri. Berenang di genangan mimpi-mimpinya sendiri yang penuh teka-teki. Setelah karya seni tercipta silakan para pedagang memainkannya dengan siasat-siasat bisnis yang elegan dan beretika.</div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
Seniman juga tak perlu terlalu bernafsu sengaja mengarahkan karyanya untuk menuruti selera pasar. Menghamba kepada pasar berarti mempercepat proses kematianya sendiri. Seniman yang baik pasti menyatu secara sosial dan spiritual dengan masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Berpijak di bumi dan tidak duduk di puncak menara gading. Jika seniman telah benar-benar menyelami nafas masyarakatnya maka tak perlu khawatir karyanya tidak terbaca oleh selera konsumen. Sesulit apa pun puisi karya seorang penyair tak perlu dicemaskan tidak bakal menyentuh langit-langit imajinasi pembacanya. Serumit apa pun sebuah lukisan akan tertangkap juga oleh mata batin penikmatnya. Sebab seniman yang berpijak di bumi tak akan bicara dengan bahasa langit.</div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
<br /></div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
Kematangan pedagang seni dan konsumen jika berjalan seiring dengan kedewasaan seniman pastilah menguntungkan perkembangan kebudayaan. Puncak menara prestasi kian hari akan kian menjulang tinggi. Tapi bila pedagang seni dan konsumen tak juga mau mematangkan diri maka bukan alasan bagi seniman untuk terus menjadi kanak-kanak. Ya, para pesohor bilang: seniman harus lebih maju dari zamannya!</div>
<div align="JUSTIFY" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
-Seruni Bodjawati</div>
<div align="RIGHT" lang="sv-SE" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0in;">
</div>
Unknownnoreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4218494227989410462.post-87915069401412556022011-05-16T22:51:00.006-07:002020-01-27T18:47:02.557-08:00ABOUT THE WRITER: SERUNI BODJAWATI<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-wUV_G2kqWrqTGxyPbNdHGYMy2GCdzMEP9mqA6PEcZBzvdSY9ZPTgGPnV7NI4cYoqv1WljO_e6lwAxt2a5Lm6yBnThlAwvdIZpOzS07GGNECd9I3bof1twiQ3M8C2wYuMV2Gjg7RIRAmf/s1600/Seruni+Bodjawati+Pelukis+Muda+Yogyakarta+Indonesia+ISI+Yogyakarta+Lukisan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="960" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-wUV_G2kqWrqTGxyPbNdHGYMy2GCdzMEP9mqA6PEcZBzvdSY9ZPTgGPnV7NI4cYoqv1WljO_e6lwAxt2a5Lm6yBnThlAwvdIZpOzS07GGNECd9I3bof1twiQ3M8C2wYuMV2Gjg7RIRAmf/s400/Seruni+Bodjawati+Pelukis+Muda+Yogyakarta+Indonesia+ISI+Yogyakarta+Lukisan.jpg" width="400" /></a></div>
<span style="line-height: 18px;"><b>Seruni Bodjawati </b>was born in Yogyakarta, September 1, 1991. Graduated cum laude with a bachelor's degree in fine art from Indonesian Arts Institute of Yogyakarta (ISI Yogyakarta). She started to paint when she was 10 months old. She has achieved numerous art awards until 2012, such as: Honorary Award from Director General of Higher Education of the Ministry of Education and Culture, Indonesia (2012), The Best High-Achieving Student by Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta and the Rector of ISI, Prof. Dr. AM. Hermien Kusmayati, S.S.T., S.U. (2012), The Best Painting Artwork Dies Natalis XXVI ISI Yogyakarta (2010), The Best Watercolor Painting ISI Yogyakarta (2010), The Best Sketch FSR ISI Yogyakarta (2010), Selected Painter: Local Government of Yogyakarta and Kyoto Japan Painting Cooperation (1997), The Best Painting Artwork Dies Natalis XXVII ISI Yogyakarta (2011), and Top 12 The Best Artwork Bazaar Art Award 2011 Harper's Bazaar Indonesia-Vanessa Art Link Jakarta (2011). She was the champion of 15 children painting competitions in Yogyakarta and Central Java (1995-1997) and was awarded as The Most Successful International Visual Artist under 20 by La Société des Artistes Contemporains, France (2011).</span><br />
<span style="line-height: 18px;"><br /></span>
<span style="line-height: 18px;">Seruni was elected as one of Indonesian Young Heroes by Aplaus The Lifestyle Indonesia for her achievements in international art scenes. In 2012 she was awarded as Indonesia's Most Inspiring Woman in Art and Culture by Kartini Magazine and Indonesian First Lady, Ani Susilo Bambang Yudhoyono in Kartini Awards 2012, the other nominees for the award were Agnes Monica (singer, actress), Atilah Soeryadjaya (Director and screenwriter of Sendratari Matah Ati), Kamila Andini (Director and screenwriter, the winner of Piala Citra 2011), Encim Masnah (87-year-old maestro gambang kromong classic), Astaliah (119-year-old maestro of South Kalimantan Barikin mask dance), Roesina (Dayak Deyah dancer from South Kalimantan).</span><br />
<span style="line-height: 18px;"><br /></span>
<span style="line-height: 18px;">Seruni has held four solo exhibitions in Yogyakarta and dozens of group exhibitions both inside and outside the nation as in Indonesia (Galeri Nasional Indonesia, Edwin's Gallery, The Ritz Carlton Jakarta, Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, etc) Japan (Kyoto), America (New York), Australia (Melbourne), Philippine (Manila), Romania (Bucharest), France (Aix-Marseille, Boulogne & Paris), India (Hyderabad), England (London), Germany (VK Lauterbach), New Zealand (Christchurch), Singapore, Hungary (Budapest & Eger) and Spain (City of Cuenca). Besides painting, she is also writing essays, curating local exhibitions in Yogyakarta, and producing art films.</span><br />
<span style="line-height: 18px;"><br /></span>
<iframe allowfullscreen="" frameborder="0" height="315" src="//www.youtube.com/embed/vBsThBFctaE" width="560"></iframe>
<br />
<div>
<br /></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: center;">
<br />
<div style="text-align: justify;">
Seruni Bodjawati has been writing in the mass media since elementary school . Until now, she writes short stories, poems, and essays in the various mass media of Indonesia and abroad. She is also active in various social organizations and NGOs. In 2015, Seruni was awarded by Governor of Special Region of Yogyakarta as a Museum Ambassador.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxmwvPnBanoHI_v9bd3dzXfSD07JhkdOit0FdjPFsqU6TNIAQTh1KUrKwRUJ3bZEDDjbIWY5kV2SGrO9SW7PWhmJfpUL5RIqmg9sdMmLHQrYoVmVEXP_e-RitvDlFrIhyg1lEMK66wrTN-/s1600/Seruni+Bodjawati+Membantai+Picasso+dan+Menaklukkan+Dunia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxmwvPnBanoHI_v9bd3dzXfSD07JhkdOit0FdjPFsqU6TNIAQTh1KUrKwRUJ3bZEDDjbIWY5kV2SGrO9SW7PWhmJfpUL5RIqmg9sdMmLHQrYoVmVEXP_e-RitvDlFrIhyg1lEMK66wrTN-/s640/Seruni+Bodjawati+Membantai+Picasso+dan+Menaklukkan+Dunia.jpg" width="432" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div align="JUSTIFY" style="border: none; font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 0.29in; margin-bottom: 0in; orphans: 2; padding: 0in; widows: 2;">
</div>
Unknownnoreply@blogger.com