Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos |
Media
massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk
peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat
perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa
terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia
berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu
kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman
ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya
kreativitas menggelegak. Inovasi dan
terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh
lebih intens dan memukau.
Apa
pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi
rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para
seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor
dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin
memahami seluk beluknya. Namun jarang ada
pihak yang mengerti secara bijak mengenai karakteristik dan posisi
jurnalistik seni rupa di media massa. Termasuk
para perupa sendiri. Seringkali terlontar
berbagai keluhan mengenai bobot dan cakupan tulisan serta detail dan
kedalaman kritiknya. Tentunya hal ini terjadi akibat tiadanya
pemahaman memadai tentang berbagai persoalan yang ada.
Jurnalistik
seni rupa di media massa punya bentuk beragam. Ada yang berupa
laporan sekilas pandang, mirip berita biasa, acapkali ditulis oleh
wartawan bukan ahli seni rupa dan karenanya lebih mengutamakan
hal-hal yang bersifat informatif atas data-data faktual belaka.
Mungkin juga akan ditambah sedikit komentar sederhana untuk
mempermanis tulisan agar enak dibaca. Tentu saja tulisan semacam ini
tidaklah mendalam. Sebab memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah
tinjauan seni. Ada pula jenis tulisan panjang, cukup komplit dan
mendalam yang biasa dimuat di rubrik khusus budaya. Seringkali dibuat
oleh penulis lepas yang sengaja mengirimkannya ke redaksi. Kebanyakan
orang lantas menganggapnya sebagai tinjauan seni bahkan kritik seni.
Seyogyanyalah, yang paling berkompeten melakukan kritik seni adalah
ahli seni. Tapi tidak setiap ahli seni dapat menjadi kritikus seni.
Ada berbagai prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi kritikus
seni, apalagi kritikus seni di media massa. Salah satu yang mutlak
adalah kemampuan menulis yang baik dan benar, enak menyajikannya,
sesuai tuntutan media massa dalam melayani kebutuhan pembaca yang
terdiri dari berbagai lapisan masyarakat.
Ahli
seni yang pintar menulis tidaklah banyak. Yang ada itupun belum tentu
mau (bisa) produktif. Padahal kebutuhan media massa akan tulisan
berupa kritik seni amatlah banyak. Akibatnya ruang kosong yang ada
sering dimasuki oleh siapa saja. Penulis ahli yang bukan ahli seni
adalah yang paling berpeluang mengisi kekosongan tersebut. Kadangkala
dengan modal pengetahuan seni tidak seberapa justru bisa bebas
berbicara panjang lebar mengenai seni. Celakanya, cara bertuturnya
amat sangat enak dibaca, gurih dan renyah serta penuh gairah dan
menggugah emosi, meski kelemahannya sungguh mendasar yakni tidak
menyentuh esensi. Padahal yang paling dibutuhkan dalam kritik seni
adalah pembicaraan mengenai esensinya.
Tidak
mudah dan bahkan cukup berat menulis kritik seni rupa di media massa.
Disamping dihadang keterbatasan ruang dan deadline, masih dibebani
keharusan untuk mencerdaskan dan mencerahkan pembaca. Sementara
pengejaran terhadap aktualitas membuat waktu merenung tak bisa
berpanjang-panjang. Perlu kecerdikan tertentu dalam bekerja agar
kelemahan mendasar yang tak mungkin dihindari bisa teredam.
Belum lagi risiko moralitasnya, semakin banyak mengkritik berarti
semakin banyak menambah musuh. Secantik apa pun tampilan sebuah
kritik tetap tak akan gampang diterima dengan lapang dada oleh pihak
sang seniman. Konon seniman adalah makhluk paling manja di dunia.
Cepat cemberut kala dikritik dan segera meledak bahagia kala dipuja.
Bergurau pula, bahwa kritikus itu hanyalah orang lumpuh yang gemar
menghardik orang agar berlari kencang. Tak aneh jika kemudian lebih
banyak kritikus seni pensiun dini hari.
Kritik
jurnalistik seni rupa yang termuat dalam jurnal berkala atau majalah
khusus seni rupa lebih mungkin memberikan kepuasan dari segi
kedalaman tinjauannya. Sebab disamping
halaman yang tersedia lebih luas juga segi aktualitas peristiwanya
tak terlalu dipusingkan. Di sini kritikus bisa lebih mengendapkan
hasil perenungan dan pemikirannya sebelum menuangkan ke dalam
tulisan. Aturan penuturan yang dikehendaki teoritikus Joseph
Darracott bisa diterapkan yaitu deskripsi, interpretasi dan evaluasi.
Dengan ini kritikus menempuh ujiannya sendiri berkaitan dengan
penguasaan terhadap seluk beluk elemen-elemen estetika, teori-teori
seni rupa dan tuturan bahasa. Mampukah mengajak pembaca turut
memasuki kesadaran kritis terhadap karya kreatif seniman?
Kritik
seni hanyalah bagian gejala dari persoalan besar dunia seni rupa.
Kritik hanya bersifat membantu (memandu) pemahaman dan tanggapan
masyarakat terhadap karya seni rupa. Tak boleh dianggap mutlak
kebenarannya. Sangat boleh tidak dipercaya, disangsikan, digugat dan
dipertanyakan kembali. Kritik yang baik
selalu membuka pintu untuk mendapat serangan balik. Dengan begitu
dialog panjang akan terjadi untuk menemukan kemungkinan terbaik. Pada
akhirnya memang mutu muatan tulisan sangat bergantung pada kapasitas
dan kualitas pengetahuan (pengalaman) dari sang kritikus sendiri.
Jadi, kritikus hanya akan matang kalau juga mendapat banyak kritik.
*Seruni
Bodjawati, pelukis dan esais.