Sejarah
panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok
filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada
tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun
juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya.
Sebagai ophthalmologist (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar
bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian
istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah
Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras,
belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr.
Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas
Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari
bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH
(Chung Hwa Hui), asosiasi pelajar
Tionghoa di Belanda yang banyak berjasa dalam pendanaan pendidikan keturunan
Tionghoa di Hindia Belanda.
Pergaulan luas Dr. Yap Hong Tjoen
membuatnya bersahabat erat dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara)
dan JA Jonkman. Mereka kemudian menjadi dewan
redaksi Hindia Poetra di IVS (Indonesisch
Verbond van Studeerenden) atau PPI (Perserikatan
Pelajar Indonesia) tahun 1917. Puncak keberhasilan pendidikan Dr. Yap Hong
Tjoen adalah saat diperolehnya gelar dokter ilmu penyakit mata pada tanggal 24
Januari 1919 melalui disertasi tentang penyakit glukoma. Tak lama kemudian, Dr.
Yap Hong Tjoen kembali ke tanah air untuk membangun klinik di Bandung dan kembali
ke Yogyakarta untuk mendirikan sebuah klinik mata Prinses Juliana Gasthuis voor Ooglijders. Setelah memasuki zaman
pendudukan Jepang, nama tersebut diganti menjadi Rumah Sakit Mata Dr. Yap.
Jiwa humanis yang tinggi dari Dr.
Yap Hong Tjoen membuat pelayanannya kepada para pasien menjadi adil, karena
tidak membeda-bedakan kaum miskin ataupun kaya. Dengan peralatan medis yang
canggih pada zamannya, Rumah Sakit Mata Dr Yap ramai dikunjungi para tuna netra
hingga dirintislah Balai Mardi Wuto untuk memberdayakan mereka dengan berbagai
keterampilan. Pada tahun 1949, Dr. Yap Hong Tjoen pergi ke Belanda dan wafat di
Den Haag pada tanggal 28 November 1952. Semenjak meninggalkan tanah air dia
menyerahkan pengelolaan rumah sakit kepada putranya, Dr. Yap Kie Tiong.
Koleksi beberapa alat Ophthalmology di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap |
Dr.
Yap Kie Tiong mengelola rumah sakit dengan disiplin dan dedikasi tinggi. Dia
berhasil menambah jumlah tenaga kerja rumah sakit dengan pesat dan menurunkan
prosentase penyakit mata seperti trachoma, katarak, glukoma dan xenoftalmia.
Tragisnya, Dr. Yap Kie Tiong meninggal bunuh diri di kantor Rumah Sakit Mata Dr.
Yap pada tanggal 9 Januari 1969. Peristiwa pedih dalam generasi Yap tersebut
konon dilatarbelakangi oleh masalah keluarga yang cukup berat. Dr. Yap Kie
Tiong kemudian dimakamkan di Melisi Bantul dan pengelolaan rumah sakit serta
museum diserahkan kepada Yayasan Dr. Yap Prawirohusodo.
Museum
Rumah Sakit Mata Dr. Yap diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tahun
1997. Museum yang jarang diketahui publik ini menempati tanah seluas 246 meter
persegi di dalam area rumah sakit. Di museum ini tersimpan rapi koleksi
barang-barang peninggalan Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong. Museum
Rumah Sakit Mata Dr. Yap memiliki empat ruangan yaitu Ruang Perpustakaan
(berisi buku-buku Bahasa, Sastra, Seni, Sejarah, Ophthalmology dan lain-lain sebanyak
934 judul, 939 eksemplar), Ruang Tidur (berisi barang-barang antik dan
foto-foto keluarga), Ruang Alat-alat Makan, dan Ruang Alat-alat Kedokteran
Ophthalmology.
Beragamnya
koleksi dalam Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap menunjukkan intelektualitas dan
selera tinggi Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong. Selain ratusan buku
bertopik medis, sejarah, budaya hingga filsafat, terdapat pula beberapa karya
seni di bidang seni lukis (lukisan cat minyak dan drawing), patung (beberapa dengan medium kayu), hingga kriya
keramik (terutama tea set porselen). Pada
masa pra kemerdekaan, apresiasi masyarakat terhadap seni rupa tentu belum
semarak sekarang dengan adanya berbagai keterbatasan ruang apresiasi dan modal.
Tak pelak, kehidupan para seniman pun masih terbilang sangat susah dengan
sedikitnya jumlah apresiator dan patron seni.
Adanya
karya-karya seni rupa di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap dapat menjadi penanda
bahwa Dr. Yap Hong Tjoen merupakan salah satu pelopor kolektor seni berdarah
Tionghoa yang kemudian memunculkan generasi-generasi baru dalam kiprahnya di pasar
seni rupa Indonesia. Pengamat seni rupa Agus Dermawan T. pernah menulis bahwa
90% pemain dalam pasar seni rupa Indonesia adalah orang Tionghoa. Mereka dapat
berupa kolektor dan kolekdol, art dealer
dan pemilik galeri. Kini para pemain dalam pasar seni rupa Indonesia yang
berdarah Tionghoa dapat dideret seperti Ir. Ciputra, Dr. Oei Hong Djien, Ir.
Deddy Kusuma, Budi Tek, Budhi Setya Dharma, Siswanto HS, Soenarjo Sampoerna,
Dr. Melani W. Setiawan, Hendra Hadiprana (Galeri Hadiprana), Edwin Rahardjo
(Edwin’s Gallery), Andi Yustana (Andi’s Gallery), Deddy Irianto (Langgeng
Galeri) dan masih sangat banyak.
Di
Ruang Tidur yang menjadi salah satu bagian ruangan Museum Rumah Sakit Mata Dr.
Yap, terdapat lukisan dua maestro seni rupa Indonesia yaitu Henk Ngantung dan S.
Sudjojono. Meskipun lukisan-lukisan tersebut mempunyai nilai intrinsik yang
sangat tinggi, hingga saat ini sejarah kedua lukisan tersebut masih sangat bias. Pihak pengurus dan edukator museum sama sekali tidak mempunyai catatan
mengenai asal muasal lukisan secara terperinci. Belum ada peliputan media atau
riset ilmiah mengenai koleksi benda-benda seni milik Dr. Yap Hong Tjoen. Tidak
jelas apakah karya dua maestro tersebut merupakan hibah, pesanan, atau dibeli
langsung oleh Dr. Yap Hong Tjoen dari Henk Ngantung maupun S. Sudjojono.
Lukisan potret diri Dr. Yap Hong Tjoen karya Henk Ngantung tahun 1948 |
Lukisan
Henk Ngantung yang menjadi bagian dari koleksi Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap
menggambarkan potret diri Dr. Yap Hong Tjoen dalam posisi duduk. Lukisan
bermedia cat minyak di atas kanvas tersebut dibuat dengan sapuan kuas yang
ekspresif dan warna-warna yang matang. Berdasarkan tanda tangan di kanvas,
karya berukuran 78 x 58 cm (ukuran tanpa pigura) tersebut diselesaikan pada tanggal
30 Mei 1948. Mengingat Henk Ngantung pernah menjadi pengurus Lembaga
Persahabatan Indonesia-Tiongkok tahun 1955-1958, tentu ada hubungan kekerabatan
antara dia dan Dr. Yap Hong Tjoen hingga tercipta lukisan potret diri tersebut.
Lukisan langka S. Sudjojono di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap yang dibuat tahun 1955 |
Sedangkan
lukisan karya S. Sudjojono di museum ini mempunyai tampilan visual yang sangat
menarik. Sebagai penganut aliran realisme sosial, dalam karya yang judulnya
tidak diketahui ini S. Sudjojono memainkan unsur-unsur surealisme yang jarang
nampak pada karya-karyanya. Digambarkan sebuah mata raksasa melayang di tengah-tengah
suasana sendu figur-figur rakyat jelata di padang tandus. Terdapat dua figur
sentral dalam lukisan ini berupa seorang laki-laki yang sedang berjongkok dan
seorang perempuan berkebaya merah, identitasnya tidak diketahui. Lukisan yang
bermedia cat minyak di atas kanvas ini berukuran 67 x 52 cm (ukuran tanpa
pigura) dan dibuat tahun 1955.
Drawing potret diri keluarga Dr. Yap di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap |
Selain
karya dua maestro tersebut, terdapat karya drawing
yang menggambarkan potret diri anggota keluarga Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap
Kie Tiong. Berdasarkan tanda tangan yang tertera, karya-karya tersebut dibuat
oleh pelukis potret bernama Wahyu di Yogyakarta pada tahun 1998. Selain potret
diri Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong, ada pula potret diri istri
pertama Dr. Yap Hong Tjoen, Tan Souw Lee, beserta istri kedua dan tiga anaknya
yang lain. Ada pula potret diri Oei Hong Nio, istri Dr. Yap Kie Tiong.
Cukup
disayangkan, pihak Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap kurang mengerti cara
pemeliharaan lukisan agar tidak rusak. Di ruang yang sirkulasi udaranya kurang
baik seperti di museum ini, lukisan-lukisan tua akan sangat rawan mengalami
kerusakan. Apabila lukisan-lukisan tersebut rusak, tentu kerugiannya tidak akan
sedikit. Secara nominal, karya-karya para maestro seni rupa sudah pasti
harganya tidak murah. Bahkan beberapa tahun lalu, lukisan S. Sudjojono berjudul
Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran
Diponegoro mencapai Rp 85,7 miliar dalam balai lelang Sotheby's di Hong
Kong. Lebih penting lagi, nilai-nilai intangible
dalam koleksi-koleksi seni di Museum Rumah Sakit Mata Dr. Yap tentu memiliki
harga yang tidak terukur bagi sejarah dan peradaban. Museum ibaratkan portal
masa lalu dan masa kini, semoga kepedulian preservasi, konservasi, dan restorasinya
semakin meningkat sehingga transfer ilmu antargenerasi terus berkelanjutan.
- Seruni Bodjawati
Seniman & Duta Museum Daerah Istimewa Yogyakarta