Skip to main content

ABOUT THE WRITER: SERUNI BODJAWATI



Seruni Bodjawati was born in Yogyakarta, September 1, 1991. Graduated cum laude with a bachelor's degree in fine art from Indonesian Arts Institute of Yogyakarta (ISI Yogyakarta). She started to paint when she was 10 months old. She has achieved numerous art awards until 2012, such as: Honorary Award from Director General of Higher Education of the Ministry of Education and Culture, Indonesia (2012), The Best High-Achieving Student by Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta and the Rector of ISI, Prof. Dr. AM. Hermien Kusmayati, S.S.T., S.U. (2012), The Best Painting Artwork Dies Natalis XXVI ISI Yogyakarta (2010), The Best Watercolor Painting ISI Yogyakarta (2010), The Best Sketch FSR ISI Yogyakarta (2010), Selected Painter: Local Government of Yogyakarta and Kyoto Japan Painting Cooperation (1997), The Best Painting Artwork Dies Natalis XXVII ISI Yogyakarta (2011), and Top 12 The Best Artwork Bazaar Art Award 2011 Harper's Bazaar Indonesia-Vanessa Art Link Jakarta (2011). She was the champion of 15 children painting competitions in Yogyakarta and Central Java (1995-1997) and was awarded as The Most Successful International Visual Artist under 20 by La Société des Artistes Contemporains, France (2011).

Seruni was elected as one of Indonesian Young Heroes by Aplaus The Lifestyle Indonesia for her achievements in international art scenes. In 2012 she was awarded as Indonesia's Most Inspiring Woman in Art and Culture by Kartini Magazine and Indonesian First Lady, Ani Susilo Bambang Yudhoyono in Kartini Awards 2012, the other nominees for the award were Agnes Monica (singer, actress), Atilah Soeryadjaya (Director and screenwriter of Sendratari Matah Ati), Kamila Andini (Director and screenwriter, the winner of Piala Citra 2011), Encim Masnah (87-year-old maestro gambang kromong classic), Astaliah (119-year-old maestro of South Kalimantan Barikin mask dance), Roesina (Dayak Deyah dancer from South Kalimantan).

Seruni has held four solo exhibitions in Yogyakarta and dozens of group exhibitions both inside and outside the nation as in Indonesia (Galeri Nasional Indonesia, Edwin's Gallery, The Ritz Carlton Jakarta, Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, etc) Japan (Kyoto), America (New York), Australia (Melbourne), Philippine (Manila), Romania (Bucharest), France (Aix-Marseille, Boulogne & Paris), India (Hyderabad), England (London), Germany (VK Lauterbach), New Zealand (Christchurch), Singapore, Hungary (Budapest & Eger) and Spain (City of Cuenca). Besides painting, she is also writing essays, curating local exhibitions in Yogyakarta, and producing art films.


Seruni Bodjawati has been writing in the mass media since elementary school . Until now, she writes short stories, poems, and essays in the various mass media of Indonesia and abroad. She is also active in various social organizations and NGOs. In 2015, Seruni was awarded by Governor of Special Region of Yogyakarta as a Museum Ambassador.


Popular posts from this blog

Media Massa dan Kritik Seni Rupa

Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau. Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karak

BIAS MISTERI KOLEKSI LUKISAN DR. YAP

          Sejarah panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya.             Sebagai ophthalmologist (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras, belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr. Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH ( Chung Hwa Hui ), asosiasi pelajar Tio

MEMANDANG SENI RUPA TIONGHOA

Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta Sahabat keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar. Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada, mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina. Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu hanya ada di Indonesia saja.” Kalau ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi dipijak