Esai Seni Rupa oleh Seruni Bodjawati di koran Kedaulatan Rakyat |
Di era sekarang ini, tatkala konsumen didudukkan sebagai maharaja yang harus dilayani, karya seni lebih dipandang sebagai produk budaya yang dinilai secara kasat mata. Pembicaraan cenderung mengarah pada teknik pembahasaan, tingkat kesulitan pengerjaan, daya pukau yang dimiliki dan ujungnya adalah nilai nominal pasar. Sebuah karya lebih dicermati badannya dan bukan ruhnya. Bukan soal tema dan pemikiran yang diusung tapi kecanggihan penggarapan dan kekuatan sensasinya. Seni sebagai media ekspresi psikologis terabaikan. Estetika seolah dipisahkan dari emosi.
Sewajarnyalah, arus deras komersialisasi selalu menggendong kemerosotan mutu. Produksi yang melimpah ruah meminggirkan kontemplasi. Mengejar aktualitas. Melahirkan keserbatergesa-gesaan. Muaranya hanya pada motivasi tunggal yaitu kepentingan ekonomi. Bagaimana karya bisa lancar diperdagangkan hingga menghasilkan keuntungan materi. Apa akibatnya kalau para penyair over produktif semata-mata hanya guna menumpuk honor segunung? Para novelis kebut-kebutan seperti sopir bus kota hanya demi mengejar uang setoran? Untuk apa film kacangan dibuat bergudang-gudang banyaknya? Di seni rupa lebih menyedihkan, pendangkalan mutu biasa terjadi saat pasar sedang booming. Lantas epigonisme, pemalsuan, pencurian ide, ketidakjujuran berkarya dihalalkan akibat keserakahan akan uang.
Memang, sebagai ekspresi paling individual karya seni bersifat nisbi. Sesuatu yang bernilai bagi seseorang belum tentu bernilai bagi yang lain. Lain kepala lain pandangan. Inilah istimewanya sebuah karya seni. Semuanya tergantung dari kemampuan dan selera dalam mengapresiasinya. Namun terlepas dari kenisbiannya sebuah karya seni haruslah memancarkan keindahan dan kegairahan. Bahasa filsafatnya: Koenst ist passie artinya seni adalah keindahan dan kegairahan. Jadi sifat kerohanian sepantasnya mendasari proses kreatif penciptaan. Kalau kecondongannya ke arah pengertian yang bersifat rohani dikaburkan maka bisa diduga hal apa yang bisa terjadi.
Karya I Nyoman Masriadi di Paul Kasmin Gallery, New York, Amerika Serikat. |
Konsumen selalu bergerak. Pilihan, penilaian dan seleranya cepat bergeser. Yang disayang hari ini bisa dibuang esok hari. Kebosanan dan kejenuhan kapan saja bisa segera menerkam. Kondisi dan situasi pergaulan sosial budaya memberi pengaruh vital dalam pola belanja. Gaya hidup hedonis, cenderung bernikmat-nikmat dengan kekinian, tentulah melahirkan pemujaan terhadap aspek-aspek popularitas. Apa saja yang tengah populer perlu dirangkul sebab diyakini mampu meninggikan gengsi dan mempertebal harga diri. Sesuatu yang menimbulkan shock effect, yang berbeda dari yang biasa ditemui, dengan cepat akan merebut pasar. Dengan rakus para konsumen segera melahapnya. Seni yang mendobrak acapkali sukses memaksa konsumen berpaling untuk setidaknya menatapnya.
Kaum kapitalis selalu sigap merespon keadaan. Apa yang tengah populer dieksploitasi habis-habisan. Seniman dirangsang dengan jejalan uang, didorong untuk produktif sampai kehabisan daya. Saat kebosanan dan kejenuhan konsumen menyergap maka sang seniman dibiarkan tercampak dalam kesepian yang menakutkan. Sedangkan konsumen sebagai makhluk raksasa yang selalu kelaparan hanya perlu dicarikan mainan baru.
Lihatlah grup band seperti Peterpan, Raja, Sheila on 7, Letto, Kangen dan lainnya. Atau biduan dangdut seperti Lilies Karlina, Ira Swara, Cici Paramida, Ridho Rhoma dan para penyanyi KDI. Saat jaya dipuja-puja bagai dewa dan dewi. Hanya dalam waktu singkat pesta pun usai. Sang Dewa dan sang Dewi segera dilupakan pelan-pelan. Simak jugalah kehidupan seni rupa Yogya. Saat jenis karya kontemporer ala China tengah digilai maka sebagian besar perupa hanyut oleh arus gaya kontemporer ala China itu. Jati diri hilang, karakter individual menguap. Penyeragaman gaya terjadi amat menyedihkan. Pendangkalan nilai dihalalkan hanya dengan tujuan menyerbu pasar. Hanya dalam hitungan tahun dengan jari tangan kejenuhan pasar tercipta. Kesepian menohok ulu hati.
Komersialisasi dalam seni memang merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak. Perdagangan karya seni bukanlah sesuatu yang negatif. Tentu asal masing-masing pihak berdiri di wilayahnya masing-masing. Tidak saling mengintervensi. Pemilik modal jangan mendikte proses kreatif penciptaan seniman. Jangan karena merasa lebih tahu tentang kemauan konsumen lantas menjejalkan ide-ide penciptaan kepada seniman. Biarkan seniman begelut dengan dunianya sendiri. Berenang di genangan mimpi-mimpinya sendiri yang penuh teka-teki. Setelah karya seni tercipta silakan para pedagang memainkannya dengan siasat-siasat bisnis yang elegan dan beretika.
Seniman juga tak perlu terlalu bernafsu sengaja mengarahkan karyanya untuk menuruti selera pasar. Menghamba kepada pasar berarti mempercepat proses kematianya sendiri. Seniman yang baik pasti menyatu secara sosial dan spiritual dengan masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Berpijak di bumi dan tidak duduk di puncak menara gading. Jika seniman telah benar-benar menyelami nafas masyarakatnya maka tak perlu khawatir karyanya tidak terbaca oleh selera konsumen. Sesulit apa pun puisi karya seorang penyair tak perlu dicemaskan tidak bakal menyentuh langit-langit imajinasi pembacanya. Serumit apa pun sebuah lukisan akan tertangkap juga oleh mata batin penikmatnya. Sebab seniman yang berpijak di bumi tak akan bicara dengan bahasa langit.
Kematangan pedagang seni dan konsumen jika berjalan seiring dengan kedewasaan seniman pastilah menguntungkan perkembangan kebudayaan. Puncak menara prestasi kian hari akan kian menjulang tinggi. Tapi bila pedagang seni dan konsumen tak juga mau mematangkan diri maka bukan alasan bagi seniman untuk terus menjadi kanak-kanak. Ya, para pesohor bilang: seniman harus lebih maju dari zamannya!
-Seruni Bodjawati