Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta |
Sahabat
keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu
saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang
cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar.
Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada,
mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan
orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina.
Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu
hanya ada di Indonesia saja.”
Kalau
ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi
sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda
hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun
temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola
adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes
menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi
dipijak di situ langit dijunjung.
Di
mana pun mereka tinggal, peran serta mengembangkan dan memajukan
lingkungan selalu dilakukan. Baik di bidang seni budaya, keagamaan
dan peri kehidupan sosial lainnya. Tentu tanpa meninggalkan karakter
yang sudah berurat-berakar yang dibawa dari tanah leluhur yakni
berkaitan dengan pengutamaan kekerabatan dan ingatan pekat terhadap
tanah leluhur. Kedua hal itulah yang memersatukan mereka sebagai ras
kuning. Di belahan dunia mana pun mereka berada meski satu sama lain
dipisahkan oleh jarak yang tak terkira jauhnya. Ajaran tiga guru
bangsa yaitu Lao Tse, Kong Hu Cu dan Mencius yang dipraktekkan
langsung secara disiplin selama ribuan tahun tanpa terputus membuat
kemungkinan seperti itu terjadi.
Tak
aneh jika ahli sejarah kebudayaan Tiongkok, Elizabeth Seeger, sampai
menyatakan bahwa di mana pun orang-orang Cina berada mereka tetap
Cina. Dan pakar bangsa-bangsa, L. Stodard, di tahun 1920-an sudah
meramalkan bahwa banjir Sungai Kuning akan menggenangi seluruh
penjuru dunia. Memang, mereka secara naluriah atau bahkan secara
sistematis didorong oleh penguasa negerinya dari zaman ke zaman untuk
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Daya tahan kemanusiaannya yang
kuat, di mana seekor beruang kutub pun tak mampu bertahan hidup tapi
orang Cina mampu hidup hanya dengan semangkuk bubur, membuat mereka
selalu unggul dibanding masyarakat setempat. Sebagai perantauan
mereka hidup dengan berdagang dan berwirausaha, serta membangun
kerajaan-kerajaan ekonomi melalui aktivitas bisnis dengan jurus Sun
Tzu. Kecerdasannya bisa dilihat dari penerapan falsafah kuno yang
sederhana: jangan sekali-kali membuka toko kalau tidak bisa
tersenyum. Atau, kalau mencari jarum carilah di toko Cina.
Kuatnya
sistem kekerabatan membuat tingginya kemampuan mengatasi berbagai
persaingan keras. Dan akhirnya membuat mereka tampak ekslusif.
Keunggulan selalu melahirkan kecemburuan sosial. Padahal sebenarnya,
hampir semua bangsa perantau akan selalu bersikap ekslusif di tanah
barunya. Demi keamanan diri dan keuntungan seluas-luasnya. Lihat saja
perantauan Arab, India, bangsa-bangsa kulit putih sangat jauh lebih
egois. Perantauan Cina tak pernah lupa menerapkan nasihat Lao Tse, di
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Ahli
sejarah Tiongkok, Nio Joe Lan, menerangkan hal ikhwal tentang sebutan
Tionghoa di tanah pertiwi ini. Di zaman Hindia Belanda, abad XV,
datanglah orang-orang Tiongkok ke beberapa wilayah Nusantara. Asalnya
dari daerah tertentu (Hokkian?), sekadar untuk mencari nafkah dan
penghidupan baru. Mereka ini dinamakan orang Tionghoa. Konon mereka
memang dari suku Tionghoa. Mereka rata-rata miskin, hidup sangat
sulit dan berat. Karena itu mereka tak pernah berniat pulang lagi ke
negeri leluhurnya. Menyatu dengan masyarakat setempat dan menjalin
pola hidup bersama. Hanya sampai generasi ketiga saja tak lagi
menggunakan bahasa leluhurnya, karena memang sudah tidak bisa. Mereka
menggunakan bahasa Melayu Pasar (Melayu Rendah) karena aktivitas
pergaulan mereka di pasar sebagai pedagang, buruh, atau kuli. Mereka
inilah yang lalu disebut sebagai Tionghoa Peranakan. Dalam khazanah
sastra kita, ada genre sastra (terutama jenis cerita picisan) berupa
cerita silat atau roman yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu
Pasar (Melayu Rendah). Nah, kalangan Tionghoa Peranakan inilah yang
menuliskannya. Sumber ceritanya terkadang dari Negeri Tiongkok yang
mereka dengar dari penuturan para tetuanya.
Dalam
selang waktu cukup panjang, berdatangan susul menyusul orang-orang
Tiongkok berasal dari wilayah-wilayah lainnya. Oleh masyarakat
setempat mereka juga disebut Tionghoa, padahal sebenarnya mereka di
Tiongkok bukan bersuku Tionghoa. Barangkali karena ciri-ciri fisik
yang sama, kulit kuning dan mata sipit, itulah yang membuat
masyarakat setempat menyebut mereka juga Tionghoa. Kaum pendatang
kedua ini kuat ekonominya, terpelajar, dan berbudaya tinggi. Mereka
berbicara dengan bahasa Tiongkok hingga generasi berikutnya.
Aktivitasnya murni dagang dan mencari peruntungan sebanyak mungkin.
Dan selalu terobsesi pulang ke Tiongkok lagi dengan membawa kekayaan
yang lebih besar. Bahkan kalau mati meminta mayatnya dibawa kembali
ke Tiongkok untuk dikuburkan di sana. Nah, mereka inilah yang disebut
sebagai Tionghoa Totok.
Kaum
Tionghoa Totok inilah yang mengusahakan tumbuhnya sekolah-sekolah
Tionghoa, dan membuat berbagai organisasi untuk memperjuangkan
masyarakat Tionghoa secara keseluruhan. Hal ini dilakukan setelah
menyadari sikap diskriminatif yang dilakukan pemerintah Hindia
Belanda. Makin pesatnya pendidikan Tionghoa membuat kaum peranakan
menjadi lebih mudah dan makmur hidupnya. Tak lagi menghabiskan
waktunya untuk mengurusi masalah perut belaka. Di saat inilah mulai
berkembang lebih jelas kehidupan berkesenian, berkebudayaan, dan
kebutuhan mengekspresikan diri melalui cara-cara berartistik.
Termasuk di dalamnya adalah penulisan karya sastra, pemanggungan
tonil, pertunjukan pawai Barongsai dan tentu saja melukis.
Masyarakat
Tionghoa di zaman kekuasaan Hindia Belanda bagai memiliki dua
kewarganegaraan. Dianggap sebagai rakyat pemerintah Hindia Belanda
sekaligus rakyat dari pemerintah Tiongkok. Yang jelas mereka
diposisikan berbeda dengan pribumi. Itulah sebabnya kalangan pejuang
kemerdekaan Indonesia jengkel pada masyarakat Tionghoa. Karena mereka
hanya berdiri sebagai penonton, menunggu arah angin bertiup, saat
para pejuang kemerdekaan habis-habisan bertaruh nyawa. Tentu saja ada
tidak sedikit masyarakat Tionghoa yang ikut bahu membahu
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka ini dari kalangan
Tionghoa Peranakan, yang sudah menganggap bumi tempat mereka lahir
sebagai tanah airnya sendiri.
Melacak
perkembangan seni rupa masyarakat Tionghoa betapa sulitnya. Sebab
betapa sedikitnya catatan yang pernah dibuat orang dan tidak mudah
menemukannya. Dari ribuan tumpukan majalah semasa pergerakan
kemerdekaan hingga zaman Orde Lama yang dikoleksi keluarga saya
hampir tak terjumpai ulasan seni rupa yang cukup bisa digali. Di
majalah seperti Soeloeh Pemoeda, Poedjangga Baroe, Tamansiswa,
Wanitatama, Zaman Baroe, Sin Po, Star Weekly, Varia, Pandji Poestaka,
Poestaka dan Boedaja, Basis, Zenith, Indonesia, Budaja, dan lain-lain
tak ditemukan informasi berarti. Penerbitan buku mengenai hal ini
juga tak ada. Yang banyak diberitakan dan diekspose adalah mengenai
seni pertunjukan dan karya sastra Tionghoa Peranakan.
Kalau
menyeksamai betapa suburnya penerbitan buku cerita dan maraknya seni
pertunjukan seperti opera/tonil, wayang Potehi, Barongsai, dan lain
sebagainya, semestinya seni rupanya subur pula. Sebab buku cerita dan
majalah seperti Sin Po membutuhkan ilustrator yang cakap menggambar.
Begitupun bidang seni pertunjukan membutuhkan orang yang cakap
berseni rupa, terutama melukis, untuk mengerjakan make
up,
dekorasi, dan masalah tata artistik lainnya. Tentunya juga untuk
membuat poster, iklan atau reklame. Tanpa orang-orang yang cakap di
bidang seni rupa tidak mungkin hal-hal tersebut dapat dikerjakan
dengan baik. Entah kenapa tak ada cukup catatan yang membuat para
perupa masa itu bisa tampil ke permukaan.
Namun
meski sedikit, ada juga yang dikemukakan majalah Sin Po -
wekelijksche - editie, 26 Juli 1941. Oleh penulis berinisial S.T.K
dikemukakan mengenai bakal diadakannya pameran lukisan
(tentoonstelling
schilderijen)
tanggal 8 Agustus 1941 di Kunstzaal Firma G. Kolff & Co.,
Rijswijk, Batavia - C oleh beberapa pelukis Tionghoa. Diceritakan
sedikit mengenai asal usul para pelukis dan keistimewaannya. Mereka
kelahiran awal tahun 1900-an yaitu Tan Liep Poen, Lee Man Fong, Chia
Choon Khui, Jauw Soei Kiong, Tan Soen Kiong, Kho Wan Gie dan Siauw
Tik Kwie. Yang menarik, Siauw Tik Kwie memberikan gambaran betapa
hidup para pelukis kala itu dijerat kemiskinan sehingga rata-rata
berwajah pucat dan berbadan kurus. Meski begitu, ia mengajak siapa
saja yang punya panggilan jiwa sebagai pelukis untuk tabah dan terus
melukis dengan menyiasati keadaan. Jangan tunduk dan menyerah oleh
kemiskinan. Katanya, kesukaan yang sejati tak akan bisa diubah dan
tidak bisa dipengaruhi oleh kekayaan dunia.
Sesudah
Indonesia merdeka secara otomatis orang Tionghoa yang memilih tetap
tinggal di Indonesia menjadi penduduk negeri ini. Pentingnya posisi
pelukis Tionghoa dapat dilihat dari kepercayaan Bung Karno kepada Lim
Wasim dan Lee Man Fong untuk menyusun buku Lukisan-lukisan dan
Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno, terbit tahun 1960-an. Buku
tiga edisi ini hingga sekarang tetap menjadi buku seni rupa paling
hebat, yang mengemukakan koleksi seorang presiden di dunia. Tak ada
presiden mana pun di dunia yang memiliki kecintaan, visi, dan misi di
bidang seni rupa yang bisa menandingi kehebatan presiden RI pertama,
Ir. Soekarno. Buku edisi pertama terdiri dari empat jilid, hanya
memuat koleksi lukisan saja. Dicetak di Peking dengan sistem tempel.
Pilihan koleksi untuk jilid satu dan dua dilakukan oleh Dullah yang
merupakan pelukis istana. Pilihan koleksi untuk jilid tiga dan empat
dilakukan oleh pelukis Lim Wasim. Edisi kedua juga dengan sistem
tempel dicetak di Tokyo terdiri dari lima jilid, yang kesemua karya
diseleksi dan disusun oleh Lee Man Fong. Tambahan jilid lima khusus
memuat karya patung dan porselin. Edisi ketiga isinya sama persis
dengan edisi kedua, bedanya hanya menggunakan sistem cetak langsung
(gambarnya tidak di tempel) sehingga wujud bukunya menjadi lebih
tipis. Sebenarnya sudah siap angkat cetak, draf nya sudah dibuat,
jilid keenam sampai sepuluh. Konon malah sudah jadi beberapa
eksemplar sebagai sample. Sayang keberadaannya tidak terlacak.
Kejatuhan Bung Karno oleh penguasa Orde Baru membuat rencana
penerbitan jilid enam sampai sepuluh ini gagal total. Sungguh, hal
ini merupakan kerugian luar biasa hebat bagi sejarah seni rupa
Indonesia masa depan.
Peristiwa
G30S/PKI dan bangkitnya era Orde Baru tahun 1965 di bawah Presiden
Soeharto membuat para perupa Tionghoa kian tidak jelas keberadaannya.
Mereka tiarap dan tak berani unjuk diri. Apalagi yang melukis dengan
gaya klasik atau tradisi sebagaimana yang ada di negeri Cina,
benar-benar tidak bisa tampil ke permukaan karena larangan
pemerintah. Seperti diketahui, penguasa Orde Baru membuat
kebijaksanaan politik yang sangat membatasi gerakan masyarakat etnis
Cina (Tionghoa). Termasuk di dalamnya pelarangan ditampilkannya
kesenian yang berbau tanah leluhur Tiongkok.
Rezim
Orde Baru dihantui trauma berkaitan dengan gerakan orang-orang
Tionghoa yang tergabung dalam organisasi BAPERKI terbukti menjadi
agen dari pemerintah RRC yang membantu PKI hingga menyebabkan
tercetusnya pemberontakan G30S/PKI. Pelampiasannya ditimpakan pada
masyarakat Tionghoa secara keseluruhan. Yakni dengan mengeluarkan
berbagai keputusan pemerintah yang meminggirkan hak-hak etnis
Tionghoa sebagai bagian dari rakyat negara Indonesia. Penerapan
asimilasi mengharuskan penggantian nama Cina dengan nama Indonesia,
anjuran kawin campur, dimaksudkan untuk mengikis sikap ekslusif. Juga
agar mereka lebur menjadi benar-benar Indonesia, menghapus ingatan
dan hubungan spiritualnya dengan negeri leluhur. Mana bisa? Sungguh
absurd! Ajaran Tao sebagai jalan hidup tak mungkin bisa ditanggalkan.
Keyakinan akan Tao itulah yang membuat semua orang Cina tetap menjadi
Cina di belahan bumi mana pun mereka berada dan meski telah menjadi
warga negara mana pun juga.
Rupanya
tekanan rezim Orde Baru dan trauma peristiwa G30S/ PKI, membuat etnis
Cina di Indonesia merasa lebih nyaman disebut Tionghoa. Sebutan Cina
menimbulkan konotasi yang tidak membahagiakan. Untunglah, sesudah
reformasi presiden Abdurrachman Wahid mengembalikan hak-hak istimewa
masyarakat Tionghoa sebagai warga negara Indonesia. Termasuk di
dalamnya mengekspresikan seni budaya yang dulu dibawa dari daratan
Cina dan hak berpolitik. Kini etnis Cina di Indonesia tak lagi perlu
punya alasan untuk gatal telinga dengan sebutan Cina. Tapi rupanya
bagi kebanyakan orang sebutan Tionghoa tetap terasa lebih indah.
Nah,
kembali ke perbincangan seni rupa. Semasa kencangnya kekuasaan Orde
Baru, para pelukis berdarah Tionghoa sebenarnya berkembang lebih
baik. Hanya saja mereka menggunakan teknik modern dari Barat, dengan
muatan ide yang universal, dan cuatan ekspresi individualistik.
Posisi mereka rata-rata kuat karena ditunjang kemampuan ekonomi yang
baik sehingga tak kesulitan berproduksi. Ditambah adanya
infrastruktur yang mulai terbentuk cenderung menguntungkan mereka.
Tanpa bermaksud mengumbar rasialisme, pelukis Fadjar Sidik di tahun
1990-an pernah berkeluh kesah. Katanya, “Yah, gimana lagi. Para
pemilik galeri, pedagang, art dealer, kolektor, pengamat dan
kritikus, pemilik media masa kebanyakan orang Tionghoa. Ya, tentu
saja yang diangkat-angkat setinggi langit ya para perupa berdarah
Tionghoa.”
Di
era Orde Lama hingga awal Orde Baru bisa dikemukakan perupa Tionghoa
yang menonjol antara lain Lee Man Fong, Lim Wasim, Siauw Tik Kwie,
Ling Nan Lung, Yap Kin Kun, dan Huang Fong. Sedang di masa
pertengahan Orde Baru hingga sesudah reformasi bisa dideret nama Jim
Supangkat, FX Harsono, AS Budiono, Kok Poo hingga ke generasi Agus
Suwage dan Ay Tjoe Christine. Kalau mau disebut lagi nama pelukis
yang orang tuanya nikah campur, misalnya ayah Tionghoa dengan ibu
Jawa/Sunda dan sebaliknya, bisa disebut Affandi, Dadang Christanto,
dan Wara Anindyah yang bernenek keturunan Tionghoa. Tentu masih
banyak lagi yang sebenarnya bisa dikemukakan, sayangnya datanya
sangat sulit dicari.
Para
perupa tersebut di atas dari segi kreativitas memiliki pengaruh yang
signifikan bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Karyanya variatif,
dengan ide-ide dan pemikiran yang merangsang lahirnya
penjelajahan-penjelajahan baru bagi para seniman lainnya. Jim
Supangkat sebagai corong Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975, juga FX
Harsono dan Agus Dermawan T., sangat lantang gema vokalnya hingga
sekarang. Menginspirasi generasi berikutnya tak henti-henti. Dadang
Christanto melalui karya Seribu Satu Manusia Tanah sangat menghentak.
Perannya mendorong maraknya seni instalasi di negeri ini harus
diapresiasi. Bersamaan tumbangnya Orde Baru muncul lagi Sidik W.
Martowidjojo yang lama terbenam, menggebrak dengan basic
lukisan Cina klasik. Yang fenomenal Wara Anindyah dengan menampilkan
figur-figur masyarakat Tionghoa dari masa lalu. Pameran tunggal Wara
Anindyah di Jakarta, Surakarta, dan Yogyakarta mendapat sambutan
media massa amat sangat luas dan mendalam. Dikemukakannya gambaran
masyarakat Tionghoa dengan sentuhan suasana dan cita rasa artistik
berbeda dan belum pernah dikerjakan oleh seniman lain sebelumnya.
Pengamat
seni rupa Agus Dermawan T. lebih sepuluh tahun lalu pernah menulis
bahwa yang bermain di pasar seni rupa, dalam hal ini adalah pembutuh
karya, 90% adalah orang Tionghoa. Mereka adalah kolektor dan
kolekdol, art
dealer
dan pemilik galeri. Dari hitungan 90% itu yang 90% adalah bukan
kolektor murni. Alias pedagang murni dan para pembeli yang kalau
bosan dijual lagi untuk cari untung juga. Itulah sebabnya pasar seni
rupa Indonesia bisa riuh rendah. Penuh kejutan, trik, intrik, dan
konflik. Sebab dunia perdagangan memang selalu riuh rendah. Apalagi,
suka atau tak suka, para pedaganglah penguasa yang menentukan arah
kompas.
Dari
kalangan galeri bisa dideret nama terkemuka seperti Hendra Hadiprana
(Galeri Hadiprana), Edwin Rahardjo (Edwin’s Gallery), Andi Yustana
(Andi’s Gallery), dan lainnya. Dari kalangan kolektor berpengaruh
tercantum nama Ir. Ciputra, Dr. Oei Hong Djien, Ir. Deddy Kusuma,
Budi Tek, Budhi Setya Dharma, Siswanto HS, Soenarjo Sampoerna, Dr.
Melani W. Setiawan, dan berderet-deret lainnya.
Sudah
tentu tak perlu diherankan, kalau kenyataan dunia seni rupa yang
tumbuh di Indonesia akan selalu menguntungkan para perupa Tionghoa.
Tapi di luar kepentingan ekonomi, seni itu maha misterius, terlalu
liar untuk bisa dikendalikan oleh kekuatan politik. Penggila seni
yang fanatik akan selalu memburu karya-karya terbaik dari mana pun
asalnya dan siapapun pembuatnya. Perupa Tionghoa yang tak mengejar
mutu pasti akan tenggelam dengan sendirinya. Hasil-hasil karya yang
bermutu tinggi pasti akan menjulang dan bertahan meski dibuat oleh
orang Jawa, Bali, Sunda, Batak, Minang, Dayak yang buta huruf
sekalipun. Hukum keabadian seni sangat berbeda dengan hukum politik
dan dagang. Seni adalah revolusi abadi. Adalah waktu yang dihentikan
dalam keabadian.
Seruni
Bodjawati
Yogyakarta,
7 Oktober 2013
*Esai dimuat
di MataJendela – Taman Budaya Yogyakarta, Volume VIII Nomor 4/
2013