Skip to main content

MENGENANG AJARAN S. SUDJOJONO: JIWA KETOK VERSUS UANG SEGUDANG

Eyang saya Danarto, yang oleh Emha Ainun Najib dijuluki Wong Agung dari Sragen, menyatakan berkesenian merupakan sebuah proses. Dalam penciptaan karya, penghayatan yang ikhlas saat bekerja menjadi tiang utama. Melukis itu harus semaunya sendiri tapi jangan semau-maunya. Sedangkan pakdhe saya Sardono W. Kusumo mencontohkan perlunya sebuah totalitas berkarya. Memfokuskan getaran sukma. Menjaga intensitas penghayatan diri meluncur tanpa terputus dalam tegangan psikologis tinggi.
Membuat karya seni itu bermain tapi tidak main-main. Berkarya adalah pertaruhan harga diri. Suatu upacara untuk menghormati diri sendiri. Sebuah persembahyangan bagi sang sukma sejati. Saat melukis sebaiknya tidak memikirkan hasil akhir. Sebab hasil akhir hanyalah akibat belaka. Yang terbagus, luruh total dalam gelombang proses kreatif.
Tahun ini merupakan peringatan 101 tahun kelahiran Bapak Seni Rupa Modern Indonesia, S. Sudjojono. Ajarannya didiskusikan di berbagai tempat. Pemikiran eyang Danarto dan pakdhe Sardono W. Kusumo sepadan dengan konsep jiwa ketok yang digagas S. Sudjojono. Lukisan yang baik pastilah menampilkan jiwa pelukisnya. Jiwa ketok tak bakal ada jika pelukisnya tidak total bekerja, konsentrasinya ambyar, imajinasinya patah dan daya hidupnya digoyang gempa. Apalagi kalau kejujurannya digadaikan, yang tampil hanyalah kehampaan jiwa. Mungkin canggih secara teknik, menohok mata dari segi visual, tapi tidak memuat drama yang menjadi sejarah hidup pelukisnya. Secara teknis paling mendasar, agar jiwa ketok terbabar, seorang pelukis mesti menjamin setiap jengkal gambar di kanvasnya merupakan sentuhan murni tangannya sendiri yang ajaib dan berbudi.
Pelukis tak cukup bermodal ahli menaklukkan garis dan warna, menjinakkan binatang jalang di hutan pikiran. Dia harus berekspresi. Mengeksplorasi emosi, debaran masa lalu dan detak jantung masa depannya. Mengolah keunikan karakter dan daya spiritualitas. Akhirnya, yang tampil di kanvas bukan saja apa yang diucapkan tapi juga apa yang dirahasiakan. Yakni rahasia hidup pelukisnya sendiri. Itulah kekayaan budi kesenimanan yang ajaib. Yang memberi napas kehidupan karya seni. Sebagaimana Frida Kahlo mendenguskan: lukisanku adalah diriku.   
Lukisan berjiwa ketok mengandung pengalaman hidup, empirik dan kontemplatif, sejarah panjang dan mimpi hampa serta nyanyi sunyi. Lahir dalam upaya pencarian diri tak berujung. Menempuh lembah teka-teki yang tak pernah puas oleh jawaban. Sembari menggotong mayat dari diri sendiri. Dalam upaya menemukan momentum pemahkotaan. Saat bekerja, pelukis menyelaraskan diri dengan irama semesta raya. Menikahkan intuisi dengan intelektualitas di balik cakrawala jiwa.
Maria Tjui menyatakan melukis itu sambung nyawa. Artinya nyawa pelukis lewat cat dituangkan ke kanvas. Catnya diberi nyawa, bukan cuma menempelkan cat ke kanvas. Sepemikiran, ibu saya Wara Anindyah melalui bukunya Melukis Mengolah Sukma menjelaskan hal sama. Katanya, saat melukis dia merasa bagaikan Tuhan yang meniupkan napas kehidupan pada figur-figur di dalam kanvasnya. Sementara Pablo Picasso meyakini lukisan itu seperti manusia. Bernapas, kelelahan dan menjadi tua renta, akhirnya kalah bertempur melawan waktu. Ya, kalau seseorang sudah memilih seni lukis sebagai sebuah jalan hidup, bukan cuma jalan menuju kemakmuran, pastilah mengerti cara apa yang harus ditempuh agar mahkota jiwa ketok tergapai. Hadiah terindah bagi seniman adalah kebahagiaan yang dialaminya saat sedang berkarya.


Kala memimpin Persagi, S. Sudjojono mengingatkan bahayanya godaan uang bagi pelukis. Sebab kekuasaan uang itu memabukkan. Bisa melumpuhkan semangat kesenimanan. Uang segudang tak lagi dikuasai tapi malahan menguasai. Pikiran cuma mengarah pada uang. Bukan mengarah pada peningkatan kualitas semaksimal mungkin. Terkecuali bagi orang-orang tertentu yang iman kesenimanannya kuat. Makin banyak uang makin hebat karyanya. Namun sejarah membuktikan lebih banyak pelukis mati muda gara-gara mendadak kaya. Pensiun justru setelah hidupnya terjamin. Meluncurkan karya dengan mengkhianati kejujuran hati nurani. Tak peduli pada jiwa ketok. Bahkan dengan elegan ditendangnya keanggunan wajah Sang Jiwa Ketok yang celaka. Sebaliknya, dibuktikan oleh sejarah, karya-karya masterpieces biasanya lahir di saat-saat pahit, derita mengelucak, dan kemiskinan mendera. Lihat saja karya Vincent van Gogh, Rembrandt van Rijn, Frida Kahlo, Hendra Gunawan, S. Sudjojono. Penderitaan adalah kekuatan yang merupakan sumber tenaga kreativitas terbaik. Inilah yang membuat S. Sudjojono berkata, “Kalau takut miskin dan terkena TBC jangan jadi pelukis!”
Lantas apakah pelukis itu sebaiknya tidak usah kaya? Ah, itu kuno. Menjadi kaya raya itu baik, hebat dan indah pasti. Itu rahmat, perlu disyukuri. Asal setelah kaya harta jangan miskin jiwa, miskin kreativitas dan sportivitas. Kekayaan bisa memakmurkan. Tapi kemakmuran tidak menjamin adanya kesejahteraan. Memang, pelukis itu juga manusia. Perlu uang untuk biaya hidup. Perlu hidup enak juga. Namun sebagai makhluk berbudaya, rejeki berlebih semestinya dikembalikan kepada alam dan kebudayaan.
Pelukis perlu malu kalau tak bisa membuat karya bagus. Mengejar mutu itu kewajiban. Di tahun 1940-an pun, S. Sudjojono telah menggedor-gedor jantung kreativitas para murid dan sahabatnya. Katanya, pelukis sejati tak ada alasan untuk tidak melukis. Kalau tak punya kanvas dan cat melukislah dengan kertas bekas dan pensil. Kalau tak ada kertas dan pensil melukislah dengan arang di lantai atau tembok. Kalau tak ketemu arang dan lantai atau tembok, melukislah dengan jari di atas tanah. Dan kalau tak dapat tanah? Melukislah di langit dengan matamu!
Musashi memilih jalan pedang maka yang senantiasa digelisahkannya adalah pertarungan. Orang yang memilih jalan kanvas juga selalu menggelisahkan bagaimana menaruh harga diri dan kehormatannya di atas kanvas. Perlu direnungkan juga kalimat mutiara Lao Tse, “Manusia unggul mengerti apa yang benar. Manusia rendah tahu apa yang laku dijual.” Karena itu, jangan biarkan lukisan kagum kepada uang. Tapi biarlah uang mengagumi lukisan. 

Yogyakarta, 2014
Seruni Bodjawati, pelukis dan esais

Popular posts from this blog

Media Massa dan Kritik Seni Rupa

Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau. Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karak

BIAS MISTERI KOLEKSI LUKISAN DR. YAP

          Sejarah panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya.             Sebagai ophthalmologist (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras, belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr. Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH ( Chung Hwa Hui ), asosiasi pelajar Tio

MEMANDANG SENI RUPA TIONGHOA

Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta Sahabat keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar. Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada, mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina. Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu hanya ada di Indonesia saja.” Kalau ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi dipijak