Skip to main content

KEBEBASAN SPIRITUAL SENIMAN

                                    The highest and most beautiful things in life are not to be heard about, nor read about, nor seen but, if one will, are to be lived.
― Søren Kierkegaard


Dunia kebudayaan terhenyak saat Jean-Paul Sartre mempertanyakan apa yang bisa dilakukan kesenian bagi orang-orang kelaparan. Ya, apakah perut orang-orang lapar tiba-tiba bisa menjadi kenyang setelah dunia makin dipenuhi karya-karya seni berkelas masterpieces? Apakah nilai dan makna keindahan sebanding dengan seonggok nasi yang tercampak di atas tanah? Betapa sekalimat pertanyaan Jean-Paul Sartre yang bisa terus dikembangkan ke arah yang senada akan cukup membuat pusing untuk menjawabnya. Ujungnya, jika seni dituntut untuk maksud tertentu demi tergapainya tujuan praktis sudah pasti terjadi pendangkalan makna yang hebat. Seni yang demikian akan mendekati usaha untuk bunuh diri dengan mencekik batang lehernya sendiri.
Kesenian dapat memainkan peran efektif dalam kehidupan sosial meski bersikap nihilistis. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan jika bekerja dengan terikat pada tujuan terbatas berarti mencipta kendala bagi dirinya sendiri untuk sampai pada berbagai penemuan penting yang baru. Penelitian ilmiah akan maksimal jika bekerja semata-mata demi kepentingannya sendiri. Suatu esensi kodrati yakni demi pemuasan keingintahuan intelektual tanpa dibebani motif dangkal mengejar target manfaat tertentu. Totalitas pencarian makna yang demikian itu justru hasilnya luar biasa alamiah yaitu memiliki terapan sosial yang bermanfaat sangat hebat.
Albert Einstein menemukan teori atom awalnya hanya demi pemuasan petualangan di medan ilmu pengetahuan. Baru kemudian dunia mendapatkan berkahnya. Demikian pula dengan usaha yang dilakukan oleh Thomas Alfa Edison, Marie Curie dan Antonie van Leeuwenhoek. Bahkan novelis Harriet Beecher Stowe melalui karyanya Uncle Tom’s Cabin tak pernah membayangkan karyanya akan mendorong perang besar Amerika yang berujung penghapusan perbudakan. Dia hanya menggelontorkan nafsu artistiknya untuk bercerita. Tak beda pula dengan yang dilakukan Charles Dickens, Victor Hugo, Leo Tolstoy.
Kreativitas itu hakekatnya bermakna menggali ilham dari lubuk kehidupan spiritual manusia. Seni menerapkan kualitas transendental, hasil ungkapan penghayatan nilai seniman setelah merenungkan suatu objek yang bersiat subjektif. Kejujuran dalam menemukan kebenaran universal membuat karyanya diterima secara objektif oleh khalayak awam. Daerah pencarian dan penemuan kreator merupakan daerah transenden. Yakni sesuatu yang di luar kenyataan material duniawi. Sebuah jangkauan luas yang tak terbatas bagi pengembaraan rohani manusia. Sebagai tangkapan kualitas transendental karya seni bersifat organis. Senantiasa tumbuh mewujudkan garis-garis tepinya yang lain dan berada sejalur dengan dunia kepercayaan, filsafat, rohani.
Para ahli politik praktis acapkali berpikir bahwa seorang seniman seharusnya dengan penuh kesadaran membaktikan kejeniusannya demi peningkatan kesejahteraan manusia. Hal itu tentu tidak salah sepanjang spontanitas lubuk hati terdalam tetap terjaga dan semangat daya cipta yang bebas menemukan langit luas. Karya besar sepanjang sejarah selalu lahir jika kreatornya saat berkarya bebas lepas secara spiritual. Badannya bisa saja terpenjara tapi imajinasi dan tenaga kreatifnya tak terbendung. Contoh terbaik diperlihatkan oleh Alexander Solzhenitsyn saat menulis novel Sehari Dalam Hidup Ivan Denisovich dan Gulag Archipelago. Atau Fyodor Dostoyevsky saat menulis Catatan dari Bawah Tanah dan Rumah Mati di Siberia dari penjara paling mengerikan di pembuangan Siberia. Demikian pun Pramoedya Ananta Toer saat melahirkan tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca di pengasingan Pulau Buru. Di penjara terkutuk itulah justru Pramoedya dapat menemukan kebebasan kreatif-spiritual tak terbatas dan berkualitas emas 24 karat. Tanpa dipenjarakan di situ mungkinkah tetralogi kebanggaan dunia sastra Indonesia itu bakal lahir dari tangan Pramoedya?
Manakala seniman berhasil dijinakkan oleh rezim penguasa represif pastilah terjadi pemerosotan habis-habisan mutu karya seni. Karyanya yang telah diarahkan untuk tujuan praktis penguasa justru akan gagal memberi pengaruh sosial yang memadai. Mencoba menekan habis seniman, memasung dan memaksa, malahan akan merugikan rezim itu sendiri. Bahkan hal itu akan lebih memperbesar pengaruh seniman itu sendiri, bukan menguranginya. Rezim komunis Rusia, China, Kamboja, dan Indonesia semasa Orde Baru telah membuktikan hal itu. Para seniman berkualitas emas semakin diinjak akan menjadi semakin besar dan sakti.

Sebaliknya kaum seniman yang takluk di bawah partai politik atau di kaki dewa bernama Uang bisa dipastikan kualitas karyanya dengan cepat akan turun derajat. Pablo Picasso pernah tertarik pada komunisme dan menyuarakan misi partai itu melalui periode pendek perjalanan kreatif karyanya, maka inilah periode kemuraman mutunya yang menyedihkan. Lukisan Berburu Celeng Djoko Pekik tetap dahsyat meski ditumpangi visi politik yang lugas sebab ekspresinya muncul dari lubuk hati terdalam yang tak terbelenggu kepentingan praktis. Tapi karya senada seperti Tanpa Bunga dan Telegram Duka dan seri berikutnya tampak kurang menggairahkan karena sangat sadar memanggul visi politik, popularitas dan godaan dari Dewa Duit.
Akhirnya, karya seni yang menyimpulkan tujuan sosial, politik, atau metafisik dengan mudah dapat terjebak untuk mengalahkan keseniannya sendiri. Fungsi seni yang terjitu adalah kemampuannya memberi keberanian pada masyarakat zaman ini dalam mengahadapi hidup dan permasalahannya. Dalam mencipta, para seniman mesti mencari martabat kehidupan dalam citra kemanusiaan yang tumbuh dalam ketulusan dan itikad baik. Ars longa vita brevis.

*Seruni Bodjawati, pelukis dan esais.

Popular posts from this blog

Media Massa dan Kritik Seni Rupa

Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau. Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karak

BIAS MISTERI KOLEKSI LUKISAN DR. YAP

          Sejarah panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya.             Sebagai ophthalmologist (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras, belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr. Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH ( Chung Hwa Hui ), asosiasi pelajar Tio

MEMANDANG SENI RUPA TIONGHOA

Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta Sahabat keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar. Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada, mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina. Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu hanya ada di Indonesia saja.” Kalau ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi dipijak