Skip to main content

EVA BUBLA MELUKIS DENGAN HATI NURANI



manusia unggul mengerti apa yang benar
manusia rendah mengerti apa yang laku dijual
(Kong Fuzi)

Imajinasi lebih kuat dari pengetahuan. Daya khayal yang dikembangkan mampu mengolah realitas menjadi sebuah keabadian. Seniman yang membangun mimpi dari tumpukan ide yang disergap saat terjaga dari tidur akan menghentikan waktu dalam kesempurnaan. Seni adalah revolusi tanpa henti. Pencarian terus menerus hingga mencapai batas-batas yang paling mustahil. Daya hidup digetarkan bertubi-tubi menolak daya mati. Menjadikan yang tiada menjadi ada. Maka bisa dimengerti jika dikatakan bahwa sebuah karya seni merupakan anak kandung dari senimannya.

Eva Bubla (27 tahun) warga Hongaria, setelah menikah dengan Dewa Keindahan cukup produktif melahirkan anak. Anak-anaknya berupa lukisan-lukisan sebab Eva Bubla menasbihkan dirinya menjadi seorang pelukis. Pengalaman dan pendalaman hidup mendasari proses kreatifnya. Keberadaan diri, problem dan konflik, cara pandang dalam membaca rahasia alam semesta dan bisikan hati sangat mewarnai ekspresi artistiknya. Lukisannya bukanlah sekadar unsur-unsur visual yang ditata. Ada bayangan spiritualitas dan rahasia kejiwaan yang diomongkan secara tersamar. 

Dalam pameran tunggal bertajuk All “Eye” Am tergelar lukisan bermedia akrilik di atas kanvas. Pilihan objek utamanya adalah pemandangan dan figur. Semuanya dibuat di Yogyakarta berdasarkan pengalaman bersosialisasi selama kurang lebih setahun tinggal di sini. Eva kuliah Seni Lukis FSR ISI. Benturan budaya, konflik nilai, badai kejiwaan, kerinduan dan harapan secara impresif teraplikasikan di dalam lukisannya yang cenderung tenang dan santun. Perasaan galau dan takjub manakala menyadari dalam waktu sama menginjakkan dua kaki di dua negara (satu kaki di Indonesia dan satu kaki di Hongaria) membuat mimpi dan imajinasinya meledak-ledak. Secara intuitif semua ledakan diredam. Oleh karena itu, karyanya tidak sensasional. Namun, keajaiban membuatnya memiliki sensasi berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat serta kaya aroma. Kesederhanaan justru memperkuat esensi dan eksistensinya. Ya, kebijakan dan kebajikan memang selalu sederhana. Begitu pula kecerdasan dan kemurnian hati. Kejujuran itu tidak membutuhkan argumentasi apa pun. Tidak rumit dan berbelit-belit. Tidak dicanggih-canggihkan dan tidak didandani dengan perhiasan-perhiasan gemebyar. Semua teknik maupun emosi hadir apa adanya demi pemahkotaan kebenaran.

Ayah saya Sri Harjanto Sahid, seorang budayawan, saat pertama kali melihat lukisan-lukisan Eva Bubla spontan berkomentar. Katanya, Eva melukis dengan menggunakan mata hati seorang penyair. Semesta bernapas di dalam karyanya. Suasana puitis mengalir dengan irama yang terasa amat liris. Keheningan memekat. Atmosfer dihadirkan dengan sentuhan lunak dan mewah secara rohaniah. Karenanya, kesederhanaannya adalah kesederhanaan yang terseleksi oleh kematangan berpikir. Makanya, tak akan gampang orang lain jatuh cinta kepada lukisan Eva hanya dengan pikiran, namun juga harus dengan hati. Tapi kalau cinta mulai merekah akan bertahan amat sangat lama. Cinta datang tanpa disadari dan tak mungkin diingkari. Cukup dirasakan saja tanpa harus dimengerti.


Ditekankan Eva, bahwa karyanya berbeda dengan karya-karya lokal Indonesia. Memang, meski ia kuliah di ISI tapi ia sudah pelukis jadi sejak dari negaranya. Gaya, teknik dan karakter kesenilukisannya sudah ketemu. Untuk kedepannya tinggal dikembangkan dan ditingkatkan bersama mengalirnya waktu dan produktivitas. Akrilik dicampur dengan banyak air dan membuatnya mengalir di atas kanvas. Muncullah berbagai kejutan dari background dasar, tak terduga mirip kecelakaan. Sesudahnya, ia bermain dengan background dasar itu. Detail-detail penting diperjelas gambarannya dan sisanya dibiarkan abstrak.

Dalam menyergap dan menghayati objeknya, Eva berusaha selalu manjing sajroning kahanan, lebur dengan situasi dan keadaan yang mengepung dirinya. Bukan seperti turis yang sekilas pandang lantas memotret. Tapi ia tetap mandiri, utuh, dengan kepribadiannya. Menghayati peristiwa dan semesta Yogyakarta dengan pola pikir dan cita rasa orang Hongaria. Gunung Merapi dilukis dengan melapiskan aura mistis, kegaiban, dan dongengan seputar makhluk halus. Karya The Spirit of Merapi dan The Sound of Silence memancarkan hal-hal yang bersifat irrasionalitas. Pengalaman pribadinya tampak pada lukisan-lukisan figur yang merefleksikan ketidakmampuannya mengungkapkan ekspresi rasa cinta, kebingungan, kekecewaan serta pencarian terus menerus mengenai moral universal, kebebasan jiwa, dan kedamaian diri. Suara hati nurani menjadi tiang yang menyangga bangunan kesenilukisannya. Apa pun yang telah hilang akan datang kembali sebagai kekayaan yang baru. Masa silam tak bisa dihapus. Masa depan tak lain masa kini yang dirasakan. Itulah sebabnya, masa lalu selalu aktual.

Diri sendiri hanya bisa ditemukan di kedalaman diri sendiri. Meski jalannya terjal berliku-liku. Sahabatku Eva Bubla, selamat berpameran!

Yogyakarta, 14 Mei 2012
SERUNI BODJAWATI
Kurator

Pameran tunggal seniman Hongaria, Eva Bubla, dilaksanakan di Tembi Rumah Budaya pada tanggal 1-7 Juni 2012.

Popular posts from this blog

Media Massa dan Kritik Seni Rupa

Esai Seruni Bodjawati di Koran Jawa Pos Media massa seperti koran dan majalah telah memberikan ruang luas untuk peliputan berbagai peristiwa seni rupa di Indonesia. Hal ini membuat perkembangan seni rupa kita melesat sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia menjadi salah satu pusat seni rupa Asia berdampingan dengan Cina, India dan Vietnam. Diakui atau tidak, ibu kota seni rupa Indonesia adalah Yogyakarta. Di kota berhati nyaman ini ribuan perupa lahir dan bersaing keras untuk eksis. Daya kreativitas menggelegak. Inovasi dan terobosan baru dalam penciptaan dan publikasi karya berjalan jauh lebih intens dan memukau. Apa pun bentuknya, setiap tulisan di media massa pastilah memberi rangsangan ke semua pihak untuk lebih memerhatikan seni rupa. Para seniman lebih tergugah, galeri dan pedagang tambah nafsu, kolektor dan konsumen mimpinya lebih indah, dan masyarakat luas lebih ingin memahami seluk beluknya. Namun jarang ada pihak yang mengerti secara bijak mengenai karak

BIAS MISTERI KOLEKSI LUKISAN DR. YAP

          Sejarah panjang pra kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari kehadiran sosok filantropis Yogyakarta bernama Dr. Yap Hong Tjoen. Dokter yang lahir pada tanggal 30 Maret 1885 ini tidak hanya sekadar berjasa di bidang medis, namun juga di bidang pendidikan, sosial, dan budaya.             Sebagai ophthalmologist (spesialis penyakit mata) yang berkontribusi besar bagi bangsa, kisah hidup Dr. Yap Hong Tjoen tentu penuh lika-liku perjuangan. Kepandaian istimewanya diperoleh melalui proses pendidikan panjang, mulai dari sekolah Tionghoa lalu ke ELS dan HBS Semarang. Di zaman penjajahan Belanda yang keras, belum banyak pelajar Indonesia dapat memperoleh pendidikan tinggi di Belanda. Dr. Yap Hong Tjoen adalah generasi pertama pelajar Tionghoa yang berhasil menembus Universitas Leiden dan kemudian diikuti 15 pelajar Tionghoa lain yang juga mempelajari bidang medis. Dr. Yap Hong Tjoen dan rekan-rekan studinya kemudian mendirikan CHH ( Chung Hwa Hui ), asosiasi pelajar Tio

MEMANDANG SENI RUPA TIONGHOA

Esai Seni Rupa Seruni Bodjawati di Majalah MataJendela, Taman Budaya Yogyakarta Sahabat keluarga saya seorang konglomerat Surabaya, Tedjo Prasetyo, suatu saat di Tembok Besar Cina berkata kepada ayah saya sembari memandang cakrawala. Ucapnya getir, “Bangsa Cina adalah bangsa besar. Menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dimanapun mereka berada, mereka bangga menjadi orang Cina. Kecuali di Indonesia, kebanyakan orang Cina marah, tersinggung atau tak suka kalau dibilang Cina. Mereka lebih suka disebut Tionghoa. Sesungguhnya sebutan Tionghoa itu hanya ada di Indonesia saja.” Kalau ditinjau dari segi kesejarahan, hal di atas tak lepas dari situasi sosial-politik yang mengepung mereka sejak zaman kolonial Belanda hingga zaman reformasi ini. Sebagai perantau yang lalu berturun temurun di tanah perantauan mereka perlu menerapkan berbagai pola adaptasi untuk meminimalisir konflik. Dasar peradabannya yang luwes menjadi andalan untuk eksis. Dijalankanlah prinsip: Di mana bumi dipijak