Ewho Gallery, Seoul, South Korea Presents Global Art Project (Indonesia & Korea)
“FRIDA KAHLO: LOVE & TRAGEDY”
Seruni Bodjawati and Higi Jung
Essay oleh Seruni Bodjawati
Manusia itu sebuah misteri. Meski
aksi fisiknya bisa dibaca tapi gerak sang sukma tak bisa diduga kemana arahnya.
Di dalam diri manusia terkandung kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas.
Jika diibaratkan, diri manusia adalah jagat kecil dan alam semesta adalah jagat
besar. Hebatnya, jagat besar dapat disimpan di dalam jagat kecil. Pikiran manusia
sendiri, jika dipadat-ringkaskan menjadi lebih kecil dari sebutir pasir. Dan
bila digelar menjadi lebih luas dari jagat raya. Ya, manusia adalah misteri
besar, bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Higi Jung mencoba menafsirkan figur
Frida Kahlo dengan ketajaman sudut pandang yang dibiarkan longgar. Petikan
maknanya diwujudkan dalam karya fotografi. Teknik penyajian artistiknya unik.
Menyajikan analisis kejiwaan seperti ungkapan puisi pendek. Segar dengan
kejutan memantikkan pencerahan. Kependekannya justru mengesankan kepanjangan
daya ganggu kreativitas yang sukar diukur. Eksistensi Frida sebagai sumber
inspirasi dijabarkan sebagai teka-teki abadi. Manusia adalah tanda tanya besar.
Ketidaksempurnaannya menjadi penyempurna keutuhan dirinya. Rahasia keriuh
rendahannya terletak pada tepi kesunyiannya. Kematangan ada di dalam lantunan
kesederhanaan. Karya-karya fotografi Higi Jung menjadi tak terduga daya
tariknya justru karena ekspresinya sangat dekat dengan realitas sehari-hari.
Mirip keajaiban detak jantung. Yang menyatu di tubuh sampai tak teraba
keberadaannya.
Higi Jung lahir di Uncheon, Kunggi-do,
pada 5 Desember 1986. Pernah tinggal di Moscow, Rusia, tahun 1991-1993.
Selebihnya hingga kini menetap di Seoul, Korea Selatan. Tahun 2009 menamatkan
studi penulisan dan fotografi dari Universitas Chung-Ang. Mulai mengenal Frida
Kahlo saat usia 17 tahun melalui film berjudul Frida. Rasa penasarannya terhadap legenda Meksiko itu membuatnya
tak henti-henti memburu informasi lewat internet dan buku-buku. Akhirnya sosok
Frida dijadikan sumber ide untuk berkarya, terutama fotografi.
Frida Kahlo dikenal di dunia seni
rupa karena sejarah hidupnya penuh warna dan gelombang. Lahir 6 Juli 1907 dan
meninggal dunia 13 Juli 1954. Hidup di tengah deru revolusi Meksiko dialaminya
berbagai peristiwa tragis. Kecelakaan lalu lintas yang hebat membuatnya
menderita kesakitan seumur hidup. Perkawinannya dengan muralis Diego Rivera
mengangakan luka-luka batin sekaligus melejitkan kreativitasnya.
Perselingkuhannya dengan tokoh komunis Trotsky menjadi mitos yang gemerlap.
Sikapnya ugal-ugalan, dengan nyali singa, menggedor-gedor tembok kemapanan. Pendeknya,
sepak terjangnya tak kalah penting untuk dibicarakan dibanding kedahsyatan
karya-karyanya. Tercatat Frida membuat 143 lukisan, 55 di antaranya merupakan
potret dirinya yang sering menggabungkan penggambaran simbolis dari luka fisik
dan psikologis. Ia bersikeras, “Aku tidak pernah melukis impian atau mimpi
buruk. Aku melukis realitasku sendiri.”
Sama-sama terpesona pada Frida Kahlo, saya bersepakat berkolaborasi dengan Higi Jung dalam proyek Frida Kahlo: Love & Tragedy, disupport oleh Ewho Gallery, Seoul, South Korea. Sejak duduk di bangku SMA, usia 15 tahun, sudah puluhan lukisan saya buat dengan objek utama figur Frida Kahlo. Kerja bareng dengan Higi Jung tentu akan menjadi catatan penting bagi perjalanan kesenimanan kami berdua.
Ada tujuh buah lukisan karya saya
yang saya kemukakan dalam kolaborasi ini. Lima buah berukuran 200 x 145 cm,
yaitu Sepasang Pemberontak, Kemilau
Bintang Pagi, Anak-Anak Langit, Legenda Lenyap dalam Kenangan dan Dunia Senyap Frida. Dua yang lain Menaklukkan Dunia ukuran 200 x 300 cm
dan Opera Pablo Pickahlo ukuran 250 x
200 cm. Semua karya saya bermedia akrilik di atas kanvas. Kecenderungan saya adalah
bercerita dengan bahasa bersayap. Figur yang saya tokohkan saya pandang sebagai
sebuah eksistensi yang dirundung kesuraman nasib. Penuh problematika, memberontak
terhadap takdir kelabu, terus menerus mencari dirinya sendiri sambil
menggendong suratan kematian di punggung. Sebagai manusia multidimensional sang
tokoh digodam tanda tanya besar yang tak kunjung usai dijawab. Saya
mengidealisirnya pula. Yaitu dengan sengaja memperbesar volume kemanusiaannya.
Agar segi-segi dramatik yang tercipta dapat mencuat lebih tajam. Teknik
dekoratif cukup mendominasi keseluruhan bidang kanvas. Suasana surealistis
terebakkan dalam ekspresi tegas. Tenaga warna sedikit diredam untuk memperkuat
daya sugesti dan permainan fantasi.
Dengan mengedepankan kejernihan daya
pikir Higi Jung membuat delapan karya fotografi. Dua dengan model dirinya
sendiri. Empat dengan model aktris Korea Selatan, Jaehwa Kim, sepupunya
sendiri. Dua dengan model seorang perempuan Jawa, Darajati Pertiwi. Pemotretan
atas enam karya dilakukan di Korea Selatan. Sedangakan dua buah lagi Women F#5 Pink Tears diambil di
Indonesia ketika berkunjung ke Yogyakarta. Dalam Seri Women F dirangkum enam karya berjudul Spring Fever, Don’t be Afraid, Summer House, Ponds in the Forest, On
the Carpet with Tiny Ducks, Pink Tears, Connivance, dan Gaze.. Alis mata tebal
yang menjadi ciri khas karakter Frida Kahlo dikenakan pada wajah sang model
untuk membangun karakter baru. Merupakan sebuah penegasan pandangan bahwa
perempuan itu kuat, mandiri dan kebebasannya tak terkalahkan. Inilah
pendewasaan pandangan budaya yang cenderung mendorong bahwa perempuan itu harus
lemah lembut dan murni.
Akhirnya, kolaborasi saya dengan
Higi Jung akan menjadi dialog senyap yang takkan kunjung putus. Dari dua tempat
yang saling berjauhan kami memandang ke arah satu titik yang sama. Meski arah
pandangan sama tapi pikiran kami mengembara ke belantara yang jauh berbeda.
Memang, persahabatan menjadi indah ketika masing-masing orang dibiarkan menjadi
dirinya sendiri sepenuh-penuhnya.
Yogyakarta,
23 Oktober 2012